BALAIRUNG SARI TABEK Bagi orang Minangkabau balai merupakan kata yang mempunyai arti lebih dari satu. Balai dengan arti pasar yaitu sebagai tempat terjadinya transaksi antara sipenjual dengan si pembeli. Jadi disini pergi ke balai artinya pergi ke pasar. Namun yang kita bicarakan disini adalah balai adat yaitu suatu tempat yang digunakan oleh para penghulu(pemimpin suku) untuk menyelesaikan/menyidangkan suatu perkara dan lain-lain. M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Panghulu membedakan balai adat ini atas dua bagian, yaitu medan nan bapaneh dan medan nan balinduang. Dalam medan nan bapaneh arti bali disini adalah suatu padang/tempat yang lapang yang dipelihara dengan baik, tanpa atap/atau suatu bangunan. Disekelilingnya diberi/atau disusun batu sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat atau kebutuhan untuk bersidangnya para penghulu. Pada masa lalu adakalanya disekitar medan nan bapaneh ini ditanam pohon beringin sehingga tempat tersebut menjadi sejuk. Sedangkan medan nan balinduang adalah suatu tempat atau sebuah bangunan khusus mempunyai atap tanpa dinding ataupun jendela, sehingga apapun keputusan yang diambil dapat diketahui orang banyak. Medan nan balinduang atau yag lebih dikenal dengan balai adat di Minangkabu dikenal dua tipe yaitu tipe Koto Piliang dan tipe Bodi Caniago sesuai dengan kelarasan yang dianut oleh masyarakat. Balai adat koto piliang mempunyai anjung kiri-kanan, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam persidangan kedudukan penghulu tidak sama, penghulu duduk sesuia dengan kedudukannya dalam adat. Balai adat koto Piliang lantai bagian tengahnya putus yang disebut balabuah gajah (berlebuh gajah). Menurut sistem Koto Piliang, penguasa tertinggi dalam nagari dipegang oleh penghulu pucuk. Masyarakat tinggal menerima dan menaati segala aturan yang telah ditetapkan/diputuskan tersebut sesuai dengan falsafat Koto Piliang titah datang dari ateh, sambah datang dari bawah dan inilah yang disebut dengan kebijaksanaan titiek dari atas. Dalam penyelesaian suatu masalah atau perkara sistem yang berlaku yaitu bajanjang naiek, naik dari jenjang yang paling bawah terus ke atas sampai pada jenjang paling atas. Artinya dari kemenakan kepada mamak, dari mamak ke Penghulu Andiko, dari Penghulu Andiko kepada Penghulu Pucuk. Penghulu pucuk mengeluarkan keputusan dan setiap keputusan yang sama diambil tidak dapat dibantah, jadi sifatnya mutlah. Demikian juga dengan keputusan atas perintah dari atas harus memenuhi ketentuan batanggo turun, artinya dari penguasa yang paling atas seperti raja/Penghulu Pucuk sampai kepada memenakan atau rakyat. Balai adat tipe Bodicaniago lantainya datar saja dari ujung ke ujung, dengan pengertian semua penghulu dalam persidangan duduk sama rendah, tegak sama tinggi tidak yang duduk lebih tinggi dari pada yang lain. Jika kita perhatikan balai adat ini terdapat ditiap nagari di Minangkabau bentuknya sesuai dengan kelarasan yang dianut oleh masyarakatnya. Biasanya balai adat ini dibangun berdampingan dengan mesjid dan terletak ditengah-tengan nagari. Ini merupakan salah satu syarat saling mengisi sebagaimana ungkapan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah dan hal ini terlihat dalam talibun adat sebagai berikut : Si muncak mati tambau Ka ladang mambao ladiang Luko pao kaduonyo Adat jo syarak di Minangkabau Sarupo aue jo tabiang Sanda manyanda kaduonyo Jadi balai adat atau medan nan balinduang tersebut hanya ada satu ditiap nagari di Minangkabau, dan merupakan lambang persatuan dan kesatuan serta musyawarah mufakat, sebagaimana dikatakan bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakek (bulat air ke pembuluh, bulat kata karena mufakat). Dengan mufakat tidak ada kusut yang tidak selesai, keruh yang tidak jernih semuanya dapat diselesaikan dengan baik. Antara kedua kelarsan tersebut sama-sama mempunyai kelebihan dan kekeurangan. Balairung Sari Tabek merupakan salah satu dari balai adat yang bercirikan Koto Piliang hal ini terlihat dari lantainya yang putus ditengah dan lantai dari ujung ke ujung datar saja. Menganai sejarah berdirinya tidak terlepas dari kisah asal-usul orang Minangkabau menurut tambo. Karena tambo merupakan salah satu warisan kebudayaan Minangkabau yang penting. Pada mulanya tambo merupakan kisah yang disampaikan secara lisan oleh tukang kaba, semenjak dikenalnya tulisan maka kaba ini mulai ditulis. Kesulitan dalam memahami tambo ini adalah tidak adanya konsep waktu dan pada umumnya tambo dimulai dari keberangkatan Maharaja Diraja ke Minangkabau . Dalam tambo dikisakan bahwa asal usul orang Minangkabau dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnain yaitu Macedonia tahun 336-324 SM. Raja ini mempunyai tiga orang putera yaitu Maharaja Alif yang menjadi Raja di Benua Ruhum (Romawi), Maharaja Dipang yang menjadi Raja di Benua China dan yang kecil Maharaja Diaraja yang menjadi raja di pulau Emas, dan terus mereka dekati dan akhirnya mereka menemukan gunung Merapi. Dalam pantun disebutkan : Dari mano titiak palito Dibaliek telong nan batali Dari mano asal niniek kito Dari puncak gunuang marapi. Mereka menjadikan gunung sebagai pedoman arah yang dituju. Jadi nenek moyang kita turun dari gunung merapi sesesar telur itik. Maksudnya mereka melihat gunung merapi dari jauh seakan-akan sebesar telur itik. Di gunung merapi ini menetap di suatu tempat yang bernama Lagundi nan Basago. Dalam rombongan Maharaja diraja ini juga ikut istrinya Indo Jalito dan empat orang panglima yang masing-masingnya mempunyai keahlian seperti : 1. Pengawal kerajaan diberi julukan Anjiang Mualim yang dari Parsi (Iraq sekarang) 2. Barisan perusak dijuluki Kambiang Hutan bersal dari Kamboja 3. Barisan pemburu dijuluki Harimau campo, berasal dari Campa (Siam, Muangthai) 4. Barisan penyelamat dijuluki Kuciang Siam, berasal dari Siam Nama itu diberikan sesuai dengan tingkah laku mereka masing-masing. Anggota rombongan yang lain adalah Cati Bilang Pandai. Dari atas gunung Merapi mulai turun dan membangun nagari di suatu daerah lereng gunung Merapi yang bernama Pariangan. Pariangan merupakan daerah tertua di Minangkabau, bernama Pariangan karena penduduk yang membangun daerah ini penih dengan keriangan/suka cita, sebagaimana dalam tambo disebutkan : Dibukit nan indak barangin Di lurah nan indak barajo Disinan mulo rantiang dipatah Disinan mulo sumua digali Disinan sawah satampang banieh Maksudnya di nagari Pariangan inilah mulai di buat tempat tinggal, sawah dan sumur sebagai sumber air. Dan juga mulai disusun aturan kehidupan Minagkabau. Karena penduduk bertambah juga, maka dibuka daerah baru yang bernama padang panjang, disebut demikian karena menggunakan pedang yang sangat panjang untuk membabat semak belukar pada waktu membuka nagari tersebut. Nagari Pariangan merupakan nagari yang pertama dan Padang Panjang nagari kedua di Minangkabau. Karena penduduk semakin bertambah juga maka terjadilah perpindahan penduduk ke daerah yang baru seperti ke Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan 50 koto. Jadi perpindahan pertama adalah menurun ke Parianagn kemudian Padang Panjang, Dusun Tuo (Limo Kaum). Dari atas gunung Merapi mereka dipimpin oelh Maharaja Diraja. Disini belum lagi ada aturan yang mengikat. Mereka bersama, masing-masing kelompok membuat aturan sendiri-sendiri. Di Pariangan inilah mula-mula berdiri kerajaan pertama yang bernama Kerajaan Koto Batu. Rajanya adalah Maharaja Diaraja. Sepeninggal Maharaja Diraja, penggantinya tidak, sejak itu pemerintahn dilaksanakan oleh seorang penghulu yaitu Datuak Suri Dirajo. Beliau adalah pemantu utama Maharaja Diraja dalam pelaksanaan pemerinatahan. Maharaja Diraja memiliki 3 orang istri yaitu Indo Jalito, Puti Cinto Dunie, dan Puti Sedayu. Perkawinan dengan Indo Jalito melahirkan seorang anak laki-laki bernama Sutan Paduko Basa yang kemudian begelar Datuk Katumanggungan. Setelah Maharaja Diraja wafat, Datuk Suri Dirajo tidak mampu melaksanakan pemerintahan, oleh sebab itu diangkatlah dua orang penghulu yaitu Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Maharajo Basa (anak Puti Sidayu) di Padang Panjang. Mereka bertiga (Dt. Suri Dirajo, Dt. Bandaro Kayo, Dt. Maharajo Basa) yang memimpin rakyat. Semenjak inilah dimulainya kepemimpinan penghulu terhadap rakyat banyak dan mulainya kekuasaan peghulu di Minangkabau. Jadi penghulu yang pertama adalah Dt. Suri Dirajo, ke dua Dt. Bandaro Kayo, dan ketiga Dt. Maharajo Basa. Dt. Bandaro Kayo dan Maharaja Basa adalah anak Maharajo Dirajo, sebapak berlainan ibu. Sepeninggal Maharajo Dirajo, istrinya (Indo Jalito ibu Dt. Bandaro Kayo) kemudian kawin dengan Cati Bilang Pandai , seorang ahli pikir, pembantu Maharaja Diraja. Dengan Cati Bilang Pandai ini lahirlah anaknya antara lain : Jatang Sutan Malin, Halap Dunie, Puti Jamilan, Reno Suda, dan Mambang Sutan. Cati Bilang Pandai membicarakan dengan Dt. Bandaro Kayo, Dt. Maharajo Basa dan Dt. Suri untuk mengangkat anaknya yang laki-laki menjadi penghulu, sertelah beermufakat maka ke tiganya diberi gelar yaitu : Sutan Paduko basa bergelar Dt. Ketumanggungan Jatang Sutan Malin bergelar Dt. Perpatian nan Sabatang Kalap Dunie bergelar Dt. Maharajo Nan Benego-nego. Keputusan ini diambil di Dusun Tuo dan dilaksanakan di Dusun Tuo yaitu di Batu nan tigo (terletak dekat Batu Batikan). Di batu nan tigo inilah mereka dilantik dan disumpah oleh Dt. Suri Dirajo yang bunyinya : “Bakato Bana, babudi baik, manghukum adie” Dan meminum air keris siganjo era. Bila sumpah itu dilanggar maka akibatnya : Ka ateh indak bapucuak Ka bawah indak baurek Ditangan dilarek kumbang Dan habis punah semua keturunannya Sekarang telah ada 6 penghulu, 3 penghulu di Pariangan dan 3 penghulu di Dusun Tuo. Kerajaan pertama di Koto Batu Pariangan telah runtuh, dan kerajaan ke dua di Dusun Tuo dipimpin oleh Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatiah nan Sapabatang. Pada waktu kerajaan di Dusun tuo ini belum juga ada aturan yang dapat mengikat rakyat dan kerajaan. Oleh sebab itu dibuatlah aturan yang menjadi pegangan rakyat dan kerajaan. Pembicaraan pembuatan aturan ini dimulai di Batu Pantar dan disudahi di Batu Kasua Bonta di Dusun tuo. Dalam pembicaraan rancangan aturan adat yang mereka buat tersebut senantiasa mengikat sumpah yang diucapkannya. Maka kemidian terbentuklah 23 macam aturan yang menjadi aturan adat di Minangkabau dikenal dengan Adat Nan Ampek : 1. Adat Sabana Adat 2. Adat nan Diadatkan 3. Adat nan taradat 4. Adat Istiadat Nagari nan 4 : 1. Taratak 2. Dusun 3. Koto 4. Nagari Undang Nan 4 : 1. Kato Pusako 2. Kato Dahulu Batapati 3. Undang-undang dalam Nagari 4. Undang-undang duo puluah Nama hukum Nan 4 : 1. Hukum lamo 2. Hukum Manggamo 3. Hukum Basamo 4. Hukum Bakarano Cupak nan Duo : 1. Cupak Usali 2. Cupak Buatan Setelah selesai membuat aturan induk adat Minangkabau, maka dibuatlah suku, diangkatlah penghulu yang akan memimpin suku tersebut. Mereka kemudian mulai menyebar ke luhak nan tigo dan daerah rantau Minangkabau. Luhak Tanah Datar meliputi daerah sekitar kaki gunung Merapi bagian selatan dan timur. Nagari tersebut terdiri dari : Limo Kaum duo baleh koto, 9 koto di dalam dan 12 koto dilua Sungai Tarab salapan koto dan nagari sekitarnya Ujuang Labuah dengan Sungayang, 7 Koto Batipuah X koto dan Pariangan Padang Panjang Sumalan Koto di bawah, 7 koto di ateh Talawi tigo tumpuak, Kubuang Tigo Baleh, Alam Surambi Sungai Pagu dan nagarai sekitarnya. Setelah pembuatan nagari Limo Kaum duo baleh koto, Sambilan Koto di dalam dan Duo Baleh di Luar maka dibuatlah Balai-balai adat di Nagari Tabek untuk bermusyawarah memecahkan segala persoalan yang tidak dapat diselesaikan dalam nagari masing-masing. Balai-balai tersebut terdiri dari 17 ruang, delapan ruang disebelah kanan dan delapan ruang sebelah kiri, satu ruang ditengahnya terputus atau tidak mempunyai lantai. Kono gunanya adalah untuk tempat berhentinya gajah kendaraan Dt. Parpatiah nan Sabatang. Oleh sebab itu ruang tersebut juga Labuah Gajah, jadi apabila Dt. Parpatiah Nan Sabatang datang untuk melaksanakan suatu musyawarah atau upacara maka kendaraanya berupa seekor gajah akan berhenti disi dan beliau langsung turun ke Balai adat tersebut. Balai adat ini dibangun oleh seorang arsitek lokal yang terkenal saat itu bernama Tan Tejo Gerhano, ia juga dikenal sebagai orang pertama yang membuat Rumah Gadang di Minangkabau. Pada waktu mendirikan balai adat ini ada gurindam dari dt. Parpatiah nan Sabatang sebagai berikut : Ado talukih dalam tambo Aluang bunian nagari tabek Penghulu duduk jo naraco Mampamanih adat nan ampek Aluang bunian nagari Tabek Babalai balairung Panjang Panghulu duduak di nan rapek Hukum maukua samo panjang Babalai balirung panjang Bantonggak tareh jilatang Hukum maukua samo panjang Hukum tak kilu manjadi pantang Batonggak tareh jilatang Bakasau manulang ikan Apo sajo karajo nan datang Panghulu nan indak manruah bosan Bakasau manulang ikan Baparan ma aka lunsang Apo pedoman jo ingatan Ingeklah adat jo undang-undang Lamak manih bak raso santan Atap bataran jo sago jantan Kalau mahukum jo undang-undang Lamak manih bak raso santan Elok jo buruak indak tabuang Baruang 17 ruang Nan bagandang saliguri Elok jo buruak indak tabuang Tantu manyanang ka nagari Nan bagandang Sali guri Nan batabuah puluik-puluik Tantu manyanang ka nagari Kato nan tuo lai baturuik Batabuah puluik-puluik Balapieh ilalang salai Kato nan tuo lai baturuik Disinan kusuik mako salasai Nan balapiek ilalang salai Nan buli-buli batu Itu curian turun naiak Nan kok hukum nan putuih Samo manyanang timbal baliek Pembuatan nagari Tabek bersamaan dengan nagari Sawah Tangah sehingga kedua disebut juga dengan Aluang Bodi Caniago, yang dilakukan setelah pembuatan Tanjung nan 7 dan Lubuak nan 3. Tanjuang Nan 7 yaitu : 1. tanjuang Sungayang (di Kabupaten tanah datar) 2. Tanjunang Barulak (di Kabupaten tanah datar) 3. Tanjuang Alam (di Kabupaten tanah datar) 4. Tanjuang Bonai (di Kabupaten tanah datar) 5. Tanjuang Bingkai (di Kabuapten Solok) 6. Tanjuang Alai (di Kabupaten Solok) 7. Tanjuang Gadang (Kabpaten Sawahlunto/Sijunjuang) Lubuak Nan 3 : 1. Lubuak Sikarah (di Kabupaten Solok) 2. Lubuak Sipunai (si Sijunjuang) 3. Lubuak Simauang (di Talawi) Sebagaimana bunyi gurindam adat : Manubo urang di Talawi Matilah punai di Sijunjuang Dipangek urang di Sikarah Dimakan di Tabek Sawah Tangah Maksudnya bila timbul suatu permasalahn mula-mula disaring di Talawi kemudian dibicarakan di Sipunai dan diputuskan di Sikarah, diumumkan di Tabek Sawah Tangah itulah yang dipakai oleh Bodi Caniago. Walaupun Balairung Sari Tabek ini bangunannya bercirikan sistem Bodi Caniago namun masyarakatnya tidak menganut sistem kelarasan tersebut, dan menurur penuturan salah seorang ninik mamak setempat yaitu Bapak Parlis Dt. Bandaro Panjang masyarakat Nagari Tabek menganut sistem lareh nan Bunta jadi mereka tidak menganut sistem kalarasan Bodi Caniago maupun Koto Piliang sesuai dengan mamangan berikut ini : Pisang sikalek-kalek hutan Pisang tamtu nan bagatah Boodi Caniago inyo bukan Koto piliang inyo antah Dengan dibangunya Balai-balai ini Nagari Tabek merupakan Nagari tertua di Minangkabau sedangakan Pariangan merupakan nagari asal orang Minangkabau, hal ini dijelaskan dalam tambo alam Minangkabau. Balairung Sari Tabek ini dibangun oleh seorang arsitek terkenal pada masa itu yaiti Tan Tejo Gerhano, dan beliau juga dikenal sebagai seorang pendiri Rumah Gadang di Minangkabau. Setelah wafat beliau berkubur di kuburan panjang Pariangan. Menurut informasi yang diperoleh dari pengurus KAN Nagari Tabek bahwa kuburan Tan Tejo Gerhano tersbut sebetulnya berada di Nagari Tabek yang mana ukurannya lebih panjang dari kuburan yang ada di Pariangan. Balairung Sari Tabek ini sudah merupakan salah satu situs cagar budaya di bawah pengawasan Suaka Purbakala yang berkedudukan di Batusangkar yang telah dilindungi oleh undang-undang cagar budaya dan diawasi oleh seorang juru pelihara. Arsitektur dan Konstruksi Bangunan 1. Arsitektur Arsitektur dalam pengertian luas adalah pemenuhan akan kebutuhan manusia terhadap yang yang dapat memerikan rasa tentram dan bahagia bagi manusia yang dilingkupinya. Pengertian rasa tentram dan bahagia bagi manusia memberikan implikasi akan perlunya perencanaan yang memadai. Dengan demikian arsitektur tradisional adalah akibat interakasi dari berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu bentuk arsitektur tradisonal merupakan hasil rekaman akumulasi pengamatan yang mempunyai ciri kelestarian dari suatu kelompok etnis di daerah tertentu. Di dalam lingkungan manusia hidup berbudaya, korelasi antara kondisi alam, materi, faktor-faktor sosial, kebutuhan ruang dan berbagai faktor-faktor lainnya bagi nenek moyang bangsa maka telah berhasil dicitrakan dalam penampilan karya-karya arsitekturnya. Arsitektur Minangkabau telah melalui berbagai zaman dalam masa yang lama. Sedikit banyaknya setiap zaman memberikan andil pengaruh bagi penyempurnaan arsitektur Minangkabau untuk mencapai bentuk yang mapan. Dilihat dari segi arsitekturnya, Balairung Sari Tabek merupakan suatu hasil karya budaya tradisional dan sekaligus sebagai manifestasi masyarakat Minangkabau. Berbicara tentang arsitektur Balairung Sari tidak terlepas dari gambaran dan ciri khas budaya Minangkabau. Arsitekturnya menurut Francis D. K Ching dalam bukunya yang berjudul Arsitektur adalah bentuk ruang dan susunannya, arsitektur pada umumnya dipikirkan (dirancang) dan diwujudkan (dibangun) sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang ada. Kondisi kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata-mata atau mungkin juga refleksi dari berbagai derajat sosial ekonomi, politik bahkan kelakuan atau tujuan simbolik. Jadi arsitektur merupakan proses pemecahan atau perancangan bangunan. Arsitektur sebuah balairung pada umumnya hampir menyerupai bentuk rumah gadang, yaitu dibangun di atas tiang dengan atap yang bergonjong-gonjong, memeliki kolong, tetapi kolongnya lebih rendah dari kolong rumah gadang. Akan tetapi tidak berdaun pintu dan berdaun jendela. Adakalanya balairung itu tidak berdinding sama sekali, sehingga penghulu yang mengadakan rapat dapat diikuti oleh masyarakat umum seluas-luasnya. Seperti dalam hal rumah gadang, maka kedua kelarasan yang berbeda alairan itu mempunyai perbedaan pula dalam bentuk balairung masing-masing. Balairung kelarasan Koto Piliang mempunyai anjuang pada kedua ujungnya dengan lantai yang lebih tinggi. Lantai yang lebih tinggi digunakan sebagai tempat penghulu pucuk. Anjungnya ditempai raja dan wakil. Lantainya terputus di bagian tengah yang disebut dengan labuah gajah, yang berfungsi sebagai tempat lewatnya kendaraan raja-raja. Sedangkan balairung dengan kelarasan Bodi Caniago tidak mempunyai anjung dan lantainya rata dari ujung ke ujung. Sementara Balairung yang terdapat di Nagari Tabek, Pariangan yang dianggap sebagai Baliarung tertua yang bernama Balairung Sari, merupakan tipe lain. Bentuknya tidak mengikuti kelaran yang dua tadi. Balairung ini memiliki gonjong sebanyak enam buah yang menyerupai tanduk kerbau. Di bawah lantai terdapat kolong. Tangga untuk naik ke atas Balairung terbuat dari kayu dengan jumlah biasanya ganjil 5 atau 7. Tiang berjumlah 36 buah. Di atas Balairung terdapat ruangan yang panjang membujur dari utara ke selatan, yang berjumlah 17 buah. Saru buah labuah gajah, yakni ruang yang terputus satu ruang, yang bertujuan tempat perhentian kedaraan raja-raja yang datang untuk mengadakan musyawarah atau kunjungan. Di bagian belakang Balairung terdapat sebuah kolam yang besar, yang dulunya hanya berukuran kecil yang dimanfaatkan sebagai tempat mencuci kaki. Sekarang di atas kolam ini sudah dibangun pentas terapung yang tujuannya sebagai tempat permainan anak nagari. Konon kabarnya ada cerita lain tentang ruang yang terputus karena discuri oleh Belanda dan dibawa ke Pariangan, yang sekarang bernama labuah saruang. Karena Balairung ini tidak mengikuti aliran Koto Piliang dan Bodi Caniago, maka ia tidak memiliki anjung, bangunannya rendah tanpa dinding sama sekali, sehingga setipa orang dapat melihat permufakatan yang diadakan di atasnya. Di halaman depan terdapat pulalapangan yang agak ditinggikan dari tanah yang ditanami dengan rumput-rumputan dan bunga-bunga. Pada lapangan ini juga terdapat batu tapakan tempat duduk. Lapangan tempat beristirahat atau berangin-angin peserta musyawarah setelah melakukan musyawarah. Batu tapakan merupakan tempa duduk mereka sambil menyaksikan atraksi-atraksi kesenian yang disajikan seperti randai, tari-tarian, selawat dulang, rabab dan sebagainya. Lapangan ini disebut juga dengan medan nan bapaneh. Dengan beristirahat sejenak disana akan mendinginkan kepala agar dapat melanjutkan musyawarah kembali. Balairung hanya boleh didirikan di perkampungan yang berstatus nagari. Kerana nagari Tabek sudah memenuhi kriteria sebagai sebuah nagari maka dibangun Balairung Sari si daerah ini. 2. Konstruksi Pengertian konstruk adalah susunan / bagian-bagian dari bangunan yang membentuk sebuah bangunan. Pada bangunan balairung sari konstruk bangunannya terdiri dari : a. Bentuk Bangunan Balairung sari bangunan tradisional minangkabau yang membujur dari uatar ke selatan, dengan panjang bangunan 48, 24 meter, lebar 3,4 meter dan tinggi bangunan dari pembautan kosong yang dipasang disekeliling 5,30 meter sampai ke puncak atap atau nok yaitu sebatang kayu yang berfungsi sebagai temapt kedudukan atau sebagai ukuran gonjong. Kalau kita perhatikan pemasangan batu kosong pada bagian bawah ini, sedikit terdapat keunikan dimana pemasangan batunya tidak menggunakan bahan perekat semen sebagaimana layaknya bangunan candi di daerha Jawa, namun bangunan ini dapat bertahan sampai sekarang, lebih kurang usianya sudah 300 tahun. Pada beberapa bagian bangunan sudah mengalalami kerusakan dan keropos dan sudah mengalami penggantian dan perbaikan seperti lantai dan atap. Namun tiang yang ada sekarang masih merupakan tiang yang aslinya. Bentuk bangunan Balairung Sari bila dilihat secara keseluruhan tanpak menyerupai perahu. Menurut cerita dari versi masyarakat setempat sebelum dibangunnya Balairung Sari ini diawali dengan pemufakatan dari perangkat nagari tentang bagaimana bentuk balai adat yang akan dibangun. Sesuai dengan pemufakatan bersama maka dipilihlah bentuk bangunan ini seperti sebuah perahu dengan dilatarbelakangi sejarah nenek moyak Minangkabau adalah seorang pelaut. Selain itu bentuk perahu melambangkan keseimbangan / keadailan dan kesatuan dimana dalam mengurangi lautan menggunakan perahun harus bisa menjaga keseimbangan dan kerjasama para awak kapalnya/perahunya. Karena bila tidak bisa menjaga keseimbangan dan menjaga kerjasama akan mendapat kesulitan ditengah laut. Ini diibaratkan sebuah Balairung harus bisa memberikan keputusan yang adil dan seimbang dalam mengarungi kehidupan ditengah masyarakat. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pendirian Balairung Sari dapat terlihat dari mamangan adat : Balai-balai balerong panjang Batonggak tareh jilatang Baparan baaka lundang Bakasau manulang ikan Batabuak puluik-puluik Bagandang saliguri Balapiak salai hilalang, ini semua nanti akan terlihat dari setiap konstruksi bangunan yang ada. b. Tonggak / Tiang Tonggak tiang merupakan bagaian bangunan yang sangat penting dalam berdirinya sebuah bangunan. Tiang ini diambil dari kayu tareh jilatang, merupakan jenis pohon yang tidak terlalu tinggi yang kualitasnya sangat bagus untuk dijadikan sebagai tonggak. Buktinya sampai saat ini belum pernah tonggak tersebut diganti, artinya masih tonggak yang asli yang sudah berusia ratusan tahun. Tiang/tonggak ini berjumlah 36 buah. c. Paran Paran adalah balok blandar penahan beban dari rangka atap atap agar atap tidak langsung menekan pada tiang. Jumlah dua buah dengan panjang 47 x 8 x 12 m. Dibuat dari akar lundang, yang diambil dari jenis tumbuhan besar. d. Kasau Kasau adalah kayu kerangka yang dipasang untuk menghubungkan para dan kuda-kuda. Kasau bangunan ini berjumlah 102 buah dengan ukuran panjang 6 x 12 x 6 cm yang susunannya atau bentuknya tidak sama unjung pangkalnya. e. Gonjong Gonjong adalah bentuk hiasan yang terdapat pada atap balairung. Gonjong terbuat dari loyang atau bisa juga dari timah putih yang beerbentuk kerucut. f. Atap Salah satu yang menjdi ciri khas dari banguan tradisional Minangkabau adalah atapanya yang memiliki gonjong runcing menyerupai tanduk kerbau. Jumlah gnojong atapnya adalah 6 buah. Menurut masyarakat disini jumlah yang enam ini melambangkan rukun imamyakni menyimbolkan syariat Islam yang dianut masyarakat Minangkabau. Atap ini terbuat dari ijuk dan di kiri kanannya dipasang papan penahan air hujan supaya pada waktu hujan air tidak masuk pada ruangan bangunan. g. Ruangan Ruangan Balairung Sari berjumlah 17 ruangan yang membujur dari utara ke selatan. Jumlah ini melambangkan jumlah rakaat sholat lima waktu yang kita kerjakan sehari semalam. h. Lantai Lantai bangunan Balairung Sari rata tanpa anjung. Hal ini sesuai dengan kelarasan yang mereka anut yakni lareh nan Bunta tidak memakai kelarasan Bodi atau Koto Piliang. i. Tangga Tangga adalah satu bagian dari bangunan Balairung Sari yang pertama dan terakhir dilewati, bila menaiki atau menuruni Balairung. Tangga ini ditempatkan di bagian depan bangunan. Tangga ini berjumlah du buah dibagian kiri dan kanan bangunan Balairung Sari dengan jumlah anak tangganya masing-masing 4 buah. Tangga ini terbuat dari bantu dan semen. Sebelum memasuki lokasi Balairung Sari kita terlebih dahulu akan melewati sebuah gapura atau pintu gerbang. Gapura ini juga diberi atap bergonjong seperti halnya Balairung Sari. 3. Arti Simbol, Ornamen dan Fungsi Persyaratan adanya sebuah nagari antara lain adalah memeliki balai adat. Dengan demikian pendirian sebuah balai adat telah mentakan bahwa telah terbentuk sebuah nagari. Jadi balai adat dapat berupa simbol dari terbentuknya sebuah nagari. Balai adat/Balairung Sari yang berada di daerah Tabek Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar ini, meskipun bentuk bangunannya seperti rumah gadang, yakni memiliki tiang dan atap yang bergonjong, namum ia tidak memiliki dinding, pintu maupun daun jendela. Hal tersebut memperlihatkan sistem demokratis yang dianut oleh orang Minangkabau sejak lama, sehingga setiap musyawarah yang dilakukan dapat disaksikan oleh masyarakat banyak. Dengan demikian bangunan ini tidak memiliki ornamen atau hiasan-hiasan layaknya bangunan tradisional di Minangkabau yang mana dinding, pintu maupun daun jendela penuh dengan berbagai jenis ukiran sesuai dengan penempatannya masing-masing. Akan tetapi bangunan Balairung Sari ini akan dihias dengan bermacam-macam atribut dan ornamen, yaitu pada waktu diselenggarakannya upacara adat secara besar-besaran atau baralek gadang dalam rangka batagak penghulu, menyambut tamu kehormatan ataupun alek nagari lainnya. Pada saat acara tersebut Balairung Sari akan berpenampilan lain dari hari biasanya karena seluruh ruangan akan ditata/didekor sedemikian rupa dengan kelengkapan adat yang berlaku di M inangkabau seperi ; a. Pelaminan Kata pelaminan berasal dari kata lamin, sedangkan pelamin berasal dari bahasa melayu kuno yang berarti tanda atau menunjukkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Jadi pelaminan artinya perbauran antara keduanya. Namun pelaminan tidak selalu hanya dipakai sebagai tempat duduk dari kedua pengantin. Pelaminan pada hakikatnya merupakan singgasana dalam sebuah istana, atau tempat kehormatan yang terdiri dari berbagai jenis dengan bentuk yang beragam. Maisng-masing bagian mempunayai makna/simbol tertentu sesuai dengan adat istiadat yang berlaku diantaranya. b. Langik-langik (tirai kolam) Merupakan beludru bewarna hitam kemudian diberi jambul kain persegi lima runcing ujungnyaberwarna hitam dan merah yang dipasang berselang seling. Permukaan kain dihiasi dengan sulaman benang emas, kemudian diberi kaca bulat sebagai lambang kekuatan penolak bala dan taburan papi-api warna merahdan kuning menambah semarak tirai langik-langik tersebut. dengan adanya pemasangan tirai langik-langik melambangkan kebesaran dan kebangsawanan orang yang duduk di bawahnya. c. Tabie Tabie (tabir) terbuat dari kain berwarna warni yang sambung-sambung merupakan lambang persatuan dan kesatuan masyarakatnya. Namun ada tiga warna pokok yaitu merah kuning dan hitam, masing-masing warna mempunyai makna tertentu pula. d. Jumlah banta gadang Jumlah banta gadang juga dapat menunjukkan besar kecilnya tingkat upacara yang dilakukan biasanya ditandai dengan pemotongan hewan ternak seperti kerbau, sapi, kambing dan sebagainya. e. Ornamen lainya Ornamen lainnya adalah pemasangan marawa yang berjejer disekitar lokasi Balairung Sari ini. Dengan semikian akan kelihatan sekali perbedaannya dengan hari-hari biasanya. Pemasangan marawa ini juga dapat sebagai salah satu informasi kepada masyarakat bahwa ditempat ini sedang dilaksanakan suatu upacara. 4. Fungsi Balairung Sari Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa Balairung Sari Tabek ini fungsinya tidak jauh berbeda dengan balai adat yang ada disetiap nagari di Minangkabau ini, yaitu sebagai tempat bermusyawarah, menyelesaikan segala sengketa yang terjadi di dalam kaum dan sebagainya. Balairung ini tidak hanya kaum yang ada di nagari Tabek saja yang memanfaatkannya sebagai tempat bermusyawarah. Biasanya sesuatu yang telah diambil keputusan ditempat lain akan dilewakan atau diundang ditempat ini. Atau belum ada keputusan ditempat lain maka akan diambil /dicarikan jalan keluarnya melalui musyawarah mufakat. Jadi bila timbul masalah dalam kaum, suku ataupun dalam nagari, maka dilakukan dulu musyawarah dalam kaum, atau dalam suku yaitu antara ninik mamak dalam nagari, sehingga sesuai mamangan berikut : Duduak surang basampik-sampik Duduak basamo balapang-lapang Maksudnya memecahkan suatu masalah jika dilakukan sendiri akan terasa sulit untuk mencarikan jalan keluarnya, tetapi jika difikirkan bersama-sama akan mendapatkan jalan keluar dari maslah tersebut karena masing-masing punya pendapat sendiri-sendiri sehingga banyak pendapat yang bisa ditelaah untuk mencarikan solusi dari maslah tersebut. Karena dikaji baik buruknya dengan akal budi yang sehat. Maka pendapat yang banyak medukung itulah yang paling tinggi nilainya. Adapun ukuran-ukuran yang dapat dipakai untuk mandapatkan hasil musyawarah ayng baik itu adalah manuruik cupak dengan gantang, manuruik barih jo balabeh, artinya cupak dengan gantang ukuran menurut undang-undang sedangkan varis dan beblebas itu adalah sesuai dengan alur dan patut. Kemudian keputusan yang diambil setelah melalui pertimbangan-pertimbangan dengan suara bulat tanpa ada kebimbangan barulah dilahirkan suatu keputusan. TATA CARA MUSYAWARAH DI BALAIRUNG SARI Balairung sari adalah bangunan yang merupakan prasarana dalam melaksanakan musyawarah untuk menyusun dan menetapkan peraturan-peraturan adat yang berlaku pada suku Minangkabau. Musyawarah merupakan siri khas sosial buday suku Minangkabau secara umum dan khusunya di daerah Tabek. Peraturan adat Minangkabau yang tertera dalam petatah petitih yang terkait dengan musyawarah dapat diketahui dari petatah petitih yang berbunyi bulek aia dek pambuluh, bulek kato dek mufakek, yang artinya segala sesuatu yang akan berlaku dalam kehidupan bersuku dan bernagari harus berdasarkan hasil dari kebulatan bersama. Demikian pula dengan keabsahan peraturan yang telah diputuskan sebelum diteapkan dan disampaikan kepada masyarakat harus benar-benar telah diasyahkan secara bersama-sama. Seperti yang dingkapkan pepatah adat batali dapek diirik, batangkai dapek dijinjiang, bulek dapek digalindiangkan, data dapek dilayangkan, yang berarti nilai keabsahan suatu peraturan adat bila benar-benar telah disyahkan harus ditaati dan dipatuhi bersama-sama. Peraturan adat atau suatu keputusan bersama ini pada dasarnya berbentuk lisan, namun dalam pelaksanaanya orang tetap pada satu pendapat, sehingga jarang sekali hasil musyawarah ini menjadi rekaya atau asal dibuat-buat saja atau juga ditambah-tambah atau dikurangi untuk suatu kepentingan. Inilah yang merupakan ciri khasatau keunikan dari adat Minangkabau, dimana walaupun suatu peraturan yang telah dibuatdalam bentuk tertulis namun kemurnian peraturan tetap terjaga. Ketika dalam menyusun dalam menuyusun atau membuat peraturan adat, perangkat-perangkat adat tetap berpijak pada rancak dek awak katuju dek urang, yang mengandung pengertian setiap peraturan yang dibuat tersebut hendaklah dapat diterima oleh seluruh masyarakat sehingga setiap orang tidak punya beban, tidak merasa dirugikan dalam memegang teguh peraturan adat dan melaksanakannya. Dengan sendirinya pertauran adat yang telah ditetapkan tersebut indak lakang dek paneh indak lapuak dek hujan, siang jadi tungkek malam jadi banta, ia akan kekal sepanjang masa karena merupakan pedoman hidup dalam berfikir dan bertindak. Kenagarian Tabek Kecamatan Pariangan terdiri dari dua jorong yaitu jorong Tabek dan jorong Bulu Kasok. Di daerah Tabek ini kelarasan yang dianut adalah lareh nan bunta, yang berarti tidak memakai kelarasan Bodi Caniago dan tidak pula memakai kelarasan Koto Piliang. Seperti mamangan dalam adat : Pisang sikalek kalek hutan Pisang timbatu nan bagatah Bodi Caniago bukan Koto Piliangnyo antah Kenagarian Tabek ini terbagi atas 4 persukuan yakni : 1. Suku melayu di bawah Malin Sampono 2. Suku Sei Napar di bawah pimpinan Khatib Marajo 3. Suku Si Jangko di bawah pimpinan Kahtib Sinaro 4. Suku Ampek Niniak di bawah pimpinan Imam Mudo Sebagai pemegang nagari pada nagari Tabek ini adalah ninik mamak yang terdiri dari : 1. Ninik mamak nan barampek yang digelari dengan pucuak bulek, yang berarti pemegang suatu kesepakatan (pamacik kato) 2. Ninik mamak nan salapan, yang ergelar nini mamak urek tunggang, yang berarti ninik mamak yang bertugas mencari informasi untuk mencapai keputusan. 3. Ninik mamak nan enam baleh, yang bergelar dahan dan rantiang, yang berarti mencari dan menghimpun adanya persoalan-persoalan di dalam masyarakat. 4. Ninik mamak Tungganai rumah, bertugas menginformasikan putusan-putusan yang ada ke masing-masing suku (bajanjang naiak, batanggo turun) Ninik mamak terdiri dari Penghulu, Malin, Dubalang dan Manti : a. Penghulu Keberadaan penghulu di nagari merupakan sebagai orang terpandang dan berkelas tinggi. Mereka juga disebut dengan istilah rang kayo (orang kaya). Mereka hidup dari hasil tanah yang luas yang diperuntukkan oleh anggota kaumnya selama ia berfungsi sebagai penghulu. Pekerjaannya dalam nagari cukup banyak adalah sebagai pengatur kehidupan masyarakat, atau menentukan apa yang terbaik untuk masyarakat nagari. Jumlah penghulu dalam suku cukup banyak tergantung jumlah rumah gadang yang ada di dalam suku tersebut. satu rumah gadang memiliki satu penghulu. Di dalam rumah gadang atau dalam persukuan sama seperti raja. Dia pemegang otoritas atas hak harta pusaka. Tapi kewenangan yang dia miliki hanya sebatas pengaturan pemilikan tanah atau benda berharga lainnya. Semua isi rumah patuh kepada penghulu. Bimbingan penghulu sangat diharapkan oleh anak kemenakan, baik dalam menata kehidupan pribadi ataupun dalam menjaga keutuhan keluarga. Karena itu pula persyaratan menjadi penghulu di Minangkabau sangat banyak sekali, sebab tidak semua orang bisa memikul tugasnya. Penghulu ibarat kayu besar dalam nagari yang menjadi tumpuan harapan masyarakat karena fungsinya yang tinggi dan luas itu hingga dikatakan daunya tempat berlindung, batangnya tempat bersandar, uratnya tenpat bergantung dan lain-lain. b. Malin Adalah pembantu penghulu dalam bidang agama. Membimbing masyarakat dan menjadi ikutan masyarakat dalam beribadat. Tugasnya mulai dari pengajaran mengaji, menunaikan rukun Islam juga menunjukka ajari masyarakat ke jalan yang diridhoi Allah. Oleh sebab itu sebagai teladan orang banyak, seorang Malin itu seperti : Suluah bendang dalam nagari, nan tahu halal jo haram, nan tahu disyah batal, nan tahu disyariat dab hakekat. c. Dubalang Asal katanya dari hulubalang. Pembantu penghulu dalam bidang penegak keamanan nagari, suku dan anak kemenakan yang dapat menindak langsung segala yang terjadi ditenga-tengah masyarakat. Keberadaan dubalang dalam pesukuan hanya satu orang. Apabila dalam nagari terdapat lima buah suku maka jumalh dubalang di nagari itu hanya lima oarang saja. Tugas mereka adalah sebagai pemagar nagari. Mereka dikenal sebagai orang yang cepat kaki ringan tangan. Selain itu di dalam pesukuan dubalang juga berfungsi sebagai pengubungdari sejumlahpeghulu yang ada dalam suku tersebut. bila suatu waktu akan diadakan musyawarah suku maka dubalang yang menghubungi para penghulu dan membawa kabar diantara penghulu dalam menetapkankapan dan dimana tempat musyawarah akan dilangsungkan. Sesarnya dubalang karena balai adat. Untuk kenagarian Tabek setiap dubalang dalam sukunya memiliki gelar masing-masing, seperti : Suku melayu bergelar Rajo Bujang Suku Sei Napar bergelar Angku Nan Kayo Suku Sijangko bergelar Magek Rajo Suku Ampek niniak bergelar Bagindo Sutan d. Manti Sementara manti tidak terdapat di nagari Tabek disebabkan karena kelarasan yang dipakainya adalah lareh nan bunta. e. Pegawai Dalam tatanan adat Minangkabau terdapat pula berbagi unsur dalam syarakat diantaranya pegawai, dalam hal ini adlah semua orang yang menjalankan peraturan dan undang-undang adat mulai dari jabatn rendah sampai ke yang tinggi yang berada di bawah kekuasaan raja dalam tiap-tiap nagari, kaum, luhak dan lareh. Jadi pegawai di Minangkabau adalah pembantu-pembantu raja atau penghulu sebagai penghubung
sumber : www.tanahdatar.go.id
0 komentar:
Posting Komentar