Kulit tergores dahan pohon, celana dikotori lumpur, dan napas hampir putus ketika Kompas tiba di puncak Taman Wisata Alam Bukit Kaba, di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Kami diperdaya keindahan Bukit Kaba. Namun, meski bukit itu indah, tapi lebih indah lagi bila tak harus berjibaku menuju ke sana....
oleh wartawan KOMPAS Haryo Damardono
Kami berangkat menuju puncak Bukit Kaba, berbekal informasi positif. “Menuju puncak Bukit Kaba, dapat naik mobil. Perjalanannya mudah, tempatnya bagus dapat langsung lihat kawah,” kata seseorang di Warung Pindang Patin di Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong; saat Tim Jelajah Musi 2010 singgah di sana.
Kami pun melesat, meninggalkan Curup lewat jalan nasional arah Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Lalu 15 kilometer dari Curup, berbelok kanan di Desa Sumber Urip, setelah bertanya berulang kali karena tiada papan petunjuk arah. Setelahnya, di jalan desa itu kami kembali harus bertanya supaya tak tersesat.
Dan perjalanan memburuk, setelah mobil kandas di jalan desa yang berlubang kira-kira lima kilometer dari puncak Bukit Kaba. “Dulu jalan ini bagus, lalu rusak oleh diesel (truk) pengangkut sayur,” kata M Yusuf, warga Karang Jaya, Kecamatan Selupu Rejang.
Mobil pun ditinggal di tepi jalan, lantas motor ojek disewa. Tarifnya Rp 60.000 pulang pergi. Meski jalan rusak, motor itu dikebut. Bahkan karena aspal berlumut, tiga kali motor jatuh di tepi jurang sedalam ratusan meter. Dua kali pula, kami mendorong motor lewat longsoran.
Akhirnya, kami tetap jalan kaki ke puncak, karena longsoran terakhir menutup badan jalan.
Setiba di puncak setinggi 1.936 meter di atas permukaan laut itu, kami berkelakar soal nama. Seharusnya, Taman Wisata Alam itu tak dinamai Bukit Kaba tapi “Bukit Baka”. Sebab, kami nyaris “bermigrasi” ke alam baka sebelum tiba di sana.
Infrastruktur buruk
Sebenarnya, Bukit Kaba sangat-sangat berpotensi menjadi wisata andalan. Indahnya Bukit Kaba, jujur saja, sebanding Gunung Bromo di Jawa Timur dan Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Kawah vulkanik adalah pemandangan andalan di sana.
Dan bila di Gunung Bromo ada ratusan anak tangga menuju puncak, di Bukit Kaba juga ada “tangga seribu” untuk mencapai bibir puncak kawah. Dari puncak Bukit Kaba terhampar pula pemandangan Kabupaten Rejang Lebong, dan Curup, kota kopi itu.
Ada kalanya, kabut tebal menutup pemandangan ke hamparan kebon-kebon kopi. Tapi kabut disertai hawa dingin, adalah sebuah sensasi tersendiri bagi wisatawan dari kota, terutama dari kota pesisir.
Jadi ketika Gunung Bromo dan Tangkuban Perahu berjaya, mengapa Bukit Kaba meredup? Titik lemahnya adalah, buruknya infrastruktur, tak ada angkutan massal seperti oplet atau mobil travel, tiada promosi, serta gagalnya membentuk pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Dulu, mobil bergardan ganda dapat mencapai puncak, kini naik motor pun sulit. Jalan aspal selebar 3-4,5 meter itu masih ada, tapi tertutup semak belukar dengan hanya menyisakan 20 sentimeter aspal. Singkat kata, bukit itu ditelantarkan.
Lantas, jangankan promosi di mancanegara, untuk menuju Bukit Kaba dari Curup saja wisatawan kerap tersesat. Padahal, andai Bukit Kaba mudah dijangkau dan ramai, tak mustahil penduduk di desa-desa terdekat beroleh manfaat ekonomi. Penduduk dapat nembuka restoran, menyewakan kamar (home stay), menjual cendera mata, atau sekadar menjadi pemandu wisata.
Mengapa pula tidak terpikir mendirikan kafe-kafe di puncak Bukit Kaba, dengan sajian utama kopi rejang lebong? Mengapa kafe menjadi penting, sebab walaupun penduduk setempat bangga hidup di sentra kopi, tapi sulitnya mencari kafe atau kedai kopi “yang layak” di Curup.
Berpikir bisnis
Mungkin, “pembiaran” terhadap Bukit Kaba dipicu kepemilikan Hutan Wisata Bukit Kaba seluas 13.490 hektar di tangan pemerintah pusat. Boleh jadi, karena tak merasa memiliki, Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong tak memedulikannya.
Padahal, andai kata Pemkab Rejang Lebong jeli, cukup dibangun infrastruktur dasar yang baik di sana, seperti jaringan jalan, jaringan air minum, hingga menara telekomunikasi sehingga sinyal mudah didapat. Toh nantinya, bila infrastruktur dasar memadai, akan ada swasta yang membangun berbagai fasilitas pendukung di kawasan penyangga Bukit Kaba.
Ketika klaster ekonomi baru tumbuh di sana, selain pemasukan dari pajak seperti pajak bumi dan bangunan, pajak restoran, dan pajak penghasilan; pemda terbantukan dengan potensi penyerapan tenaga kerja. Artinya, tak harus dipersoalkan siapa pemilik Bukit Kaba! Bangun segera infrastruktur di sana.
Jadi Tuan Bupati, kami menunggu dibenahinya Bukit Kaba. Sebab, karena indahnya, kami memang berniat kembali, meski tak ingin lagi bermain dengan maut. Lantas, indahnya Bukit Kaba sepatutnya meningkatkan taraf hidup warga setempat. Bukit seindah itu, singkatnya tak layak dikelilingi oleh desa-desa yang hidupnya belum sejahtera….
sumber : lipsus.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar