Tampilkan postingan dengan label jawa barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jawa barat. Tampilkan semua postingan

Mata Air Panas Cilimus

Sabtu, 10 Juli 2010

Kota Cirebon dipesisir pantura Jawa Barat dikenal berhawa panas menyengat seperti ciri khas wilayah pantai disini. Ternyata. disisi selatan kota, kearah Kabupaten Kuningan, terhampar desa asri berudara dingin dengan sumber mata airpanas melimpah. Namanya, desa Cilimus. Jika Jabotabek punya wilayah Puncak, maka Cilimus hampir bisa dikatakan mirip dengan ini. Karena itu, sungguh sayang jika telah tiba di Cirebon tidak menyempatkan mampir ke Cilimus yang hanya memakan waktu 45 menit perjalanan memakai kendaraan pribadi. Selain bisa mencoba berenang dimata airpanas alami, disini pula terletak rumah bersejarah tempat perjanjian Linggar Jati ditandatangani. Ibarat satu tepuk dapat dua lalat, maka jika ke Cilimus untuk berenang, sekalian saja mampir ke rumah Linggar Jati.

Cilimus berada diperut Gunung Cermai yang hijau dan dingin. Lembah dan bukitnya diselimuti kabut diketinggian antara 400 hingga 700 m dari permukaan laut. Desa ini juga merupakan pintu gerbang bagi pendaki gunung yang ingin mendaki kepuncak G.Cermai. Perjalanan kemari melalui jalan mulus dengan rute berkelok kelok melewati sawah yang luas kehijauan diselingi rumah penduduk khas pedesaan jawa barat. Penduduknya ramah dan terbuka terhadap pendatang yang menyambut ajakan ngobrol dengan logat sundanya yang kental.

Desa Cilimus dan tetangganya desa Linggar Jati adalah daerah yang tenang. Populasinya tidak padat sekali, masih banyak hamparan sawah disana sini. Sebagai wilayah yang kerap didatangi pengunjung dari luar membuat penduduknya bersikap terbuka dan ramah. Wilayah ini memang merupakan daerah tujuan wisata untuk wilayah Cirebon dan Kuningan. Karena merupakan tujuan wisata, tidak heran sangat gampang dijumpai hotel kelas menengah atau kecil, dan losmen penginapan untuk pengunjung. Bahkan penduduknya banyak yang membuka rumahnya untuk tempat menginap. Seperti tampak dijalan kecil menuju jalur pendakian ke G.Cermai, rumah rumah penduduk disana membuka rumahnya untuk dijadikan posko istirahat pendaki yang akan naik atau baru turun dari puncak gunung.

Selain rumah penduduk yang bisa dipakai menginap, disini ada beberapa hotel yang lumayan besar untuk menginap sekeluarga. Diantaranya terletak dijalan utama Cilimus-Linggar Jati (setelah pasar) yakni Tirtasani, Grage Spa Hotel, dan Hotel Ayong. Kami sempat mampir kedalam Grage Spa mencoba berendam di kolam air panas alami yang disediakan didalam hotel. Spa Hotel ini sangat bersih dan terawat dengan apik, lengkap dengan satpam dan lapangan parkir yang luas.

Mandi dikolam ini adalah salah satu daya tarik kenapa banyak pengunjung suka kedaerah ini. Banyak fasilitas hotel menyediakan mata airpanas alami tersebut. Namun jika tidak ingin menginap, pengunjung bisa mencari beberapa tempat pemandian umum mata air panas yang juga tersebar didesa ini. Malam hari desa ini tidak sepenuhnya mati total seperti laiknya desa kecil. Disini tersebar beberapa café dan diskotik kecil yang berkelap kelip dengan lampu temeramamnya. Uniknya, nampak ada diskotik yang terletak besebelahan dengan sawah. Mungkin, cuma disini ada disko yang bersebelahan dengan sawah seperti itu diseluruh dunia. Unik dan berbeda.

Seperti galibnya dunia “dugem”, dimana ada disko disitu banyak “cewe bar”. Ada baiknya jika membawa anak kecil kita pilih pilih akan tidur di hotel mana. Hotel yang dipakai untuk check in juga cukup banyak. Dan ini bisa memberi pemandangan tidak sedap bagi anak kecil apabila berada dekat dengan lokasi tersebut.

Penulis : hantulaut(hsg)
Lokasi : Cilimus, Cilimus, Kuningan
Fotografer : Hantulaut
Sumber : Navigasi.net
READ MORE - Mata Air Panas Cilimus

Situ Patenggang

Kamis, 08 Juli 2010

Berada pada ketinggian sekitar 1600 m dari permukaan laut, Situ Patenggang memiliki panorama yang memikat. Hamparan hijau kebun teh laksana karpet alam, ditambah lagi dengan udara yang dingin dan bersih serta matahari yang hangat, memberi kesan damai dan ketenangan sendiri bagi pengunjungnya.



Dari pinggir jalan menuju lokasi yang tenang, nampak sebuah danau berada dibalik perkebunan teh diantara sela-sela pepohonan yang menjulang tinggi.

Danau Patenggang atau lebih dikenal dengan nama Situ Patenggang oleh masyarakat setempat, menempati areal seluas 150 Ha. Dulunya kawasan ini merupakan kawasan cagar alam atau taman nasional, namun pada tahun 1981 telah resmi berubah menjadi sebuah taman wisata.

Untuk menikmati objek wisata ini terdapat fasilitas perahu yang bisa disewa untuk mengelilingi sebuah pulau kecil yang berada dibagian tengah danau yang bernama Pulau Sasuka. Pulau ini tampak rindang dengan banyaknya pohon-pohon tinggi yang tumbuh didalamnya. Sementara diseberang danau terdapat lokasi yang cukup menarik yang diberi nama Batu Cinta yang konon dipercayai akan memberi kelanggengan cinta bagi pasangan yang datang berkunjung kelokasi tersebut.

Perahu yang tersedia ini cukup banyak jumlahnya, dan dalam kondisi yang bagus atau terawat saat saya berkunjung kesana. Warna perahu yang cerah cukup kontras atau menyolok sekali dengan lingkungan sekitarnya yang didominasi warna hijau. Fasilitas sarana transportasi air yang disewakan di tempat ini berupa penyewaan perahu dayung, perahu boat dan sepeda air dengan harga yang masih bisa dinegosiasikan dengan pemiliknya. Terdapat pula fasilitas gazebo maupun tempat-tempat duduk tanpa atap yang terbuat dari semen untuk keperluan menikmati panorama sekitar dari tepi danau. Urusan makananpun bukanlah suatu hal yang sulit dikarenakan banyaknya warung penjual makanan yang berderet dekat dengan areal parkir.

Untuk menuju kawasan ini tidaklah sulit. Karena sudah ada jalan aspal sampai menuju kawasan tersebut. Bahkan jika tidak membawa kendaraan, bisa juga menggunakan fasilitas angkutan umum dari terminal Ciwidey dengan tariff Rp. 5.000,- perorang termasuk tiket masuk (tiket masuk perkepala Rp. 1.000,-). Hal ini akan berbeda jika pengunjung menggunakan kendaraan pribadi (baik roda 2 maupun roda 4) atau dengan menggunakan bis rombongan. Kondisi jalan yang sudah rata (diaspal), mempermudah pengunjung untuk datang ke kawasan tersebut. Disepanjang jalan menuju Situ Patenggang terpampang hamparan hutan dan kebun tehnya. Perkebunan strawbery juga banyak ditemui selama perjalanan. Umumnya perkebunan strawbery tersebut menyediakan fasilitas bagi pengunjung untuk memetik sendiri buah strawberry dari pohonnya yang ditanam pada kantong-kantong plastik.

Legenda ...

Kawasan ini memiliki sebuah legenda sehingga muncul nama Situ Patenggang. Sejarah atau mitos tentang Situ ini muncul ke permukaan disebabkan karena seorang pangeran dan seorang putri yang saling jatuh cinta. Namun perjalanan cinta mereka tidak semulus dan seindah yang dibayangkan oleh keudanya karena dipisahkan oleh keadaan. Sehingga air mata mereka membentuk sebuah situ atau danau. Selanjutnya danau itu dinamai dengan situ patenggang yang diambil dari kata pateangan-teangan yang berasal dari bahasa sunda yang artinya saling mencari-cari.

Pada akhirnya mereka dapat berkumpul kembali pada sebuah batu di situ tersebut yang diberi nama batu cinta. Konon siapapun yang pernah berkunjung dengan pasangannya, maka cinta mereka akan abadi.

Penulis: Silhouette
Lokasi: Rancabali, Bandung
Fotografer: Silhouette
Sumber : Navigasi.net
READ MORE - Situ Patenggang

Air Panas Tirta Sanita Ciseeng

Terdapat beberapa tempat wisata air panas di kabupaten Bogor, salah satunya adalah wisata air panas Ciseeng. Diantara beberapa sumber mata air panas yang ada di daerah ini, hanya lokasi pemandian air panas Tirta Sanita-lah yang dikelola sebagai tempat tujuan wisata. Tiket masuk kelokasi saat itu ditetapkan sebesar Rp. 5000/orang. Memasuki gerbang pemandian air panas Tirta Sanita, tampak deretan pohon palm raja teratur rapi disisi kiri dan kanan. Beberapa meter kemudian pengunjung akan disuguhi pemandangan bukit kapur yang merupakan sentral dari lokasi pemandian ini. Kombinasi warna putih, abu-abu dan hitam terpadu dengan kontrast, serasi dengan warna hijau dedaunan pohon yang cukup banyak tumbuh disekitarnya. Pada beberpaa bagian dari bukit ini dipahat menyerupai anak tangga sehingga memungkinkan pengunjung untuk mendakinya .

Siang itu nampaknya sedang digelar atraksi hiburan di lokasi pemandian ini. Beberapa artis dangdut lokal tampak bergantian menyanyi menghibur para penonton yang sedang duduk santai di bawah pohon rindang. Sementara diareal pemandian anak-anak, beberapa anak kecil bermain air dengan riangnya sambil berteriak-teriak memanggil orangtua/teman mainnya. Disudut lain yang lebih sepi tampak didominasi oleh beberapa pasang muda-mudi, entah itu dibawah pohon, di beberapa cekungan maupun dibalik gundukan bukit kapur.

Di atas bukit kapur, terdapat sebuah kolam kecil yang berisi air. Bau belerang cukup menyengat pada air tersebut dengan warna putih kehijau-hijaun. Ketika saya mencoba untuk merasakan seberapa panas air yang ada di bukit tersebut, ternyata tidaklah sepanas yang diperkirakan bahkan mungkin suhu yang ada pada air tersebut terjadi hanya karena terkena terik sinar matahari. Rupanya untuk dapat merasakan air panas yang sesungguhnya, harus langsung mencobanya pada kolam rendam yang terletak di dalam rumah-rumah sewa. Dari cerita seorang teman yang pernah mencobanya, air yang berada di kolam rendam sewa itu cukup panas bahkan panasnya cukup menyakitkan untuk anak kecil. Penulis memutuskan untuk tidak mencobanya, karena hawa siang itu cukup terik dan lebih tertarik untuk menjajagi bukit karpur yang terletak di belakang areal parkir Tirta Sanita. Dari petugas parkir sesaat sebelum memasuki loket pembayaran Tirta Sanita, diperoleh informasi bahwa di bukit kapur tersebut juga terdapat sumber air panas, namun belum dikelola secara penuh.

Penasaran dengan informasi ini tidak ada salahnya untuk mencoba mendaki, toh tidak terlalu tinggi, meskipun terik matahari terasa sangat menyengat kulit. Dan memang benar, terdapat sebuah kolam pemandian kecil disana dan sebuah kamar mandi dengan air panas mengalir didalamnya namun sayang bangunannya benar-benar "darurat". Saat itu tidak seorang pun yang mencoba mandi maupun berendam dalam kolam yang terletak di areal terbuka, tanpa adanya atap maupun pepohonan yang menaungi dari terik matahari. Hanya beberpa orang yang nampaknya penduduk sekitar sedang berbincang-bincang di bawah terpal biru ditemani segelas kopi.

Air yang ada di kolam tersebut ternyata juga tidaklah sepanas yang diperkirakan, alias tidak jauh berbeda dengan suhu air yang terletak di atas bukit kapur Tirta Sanita. Bentuk kolam yang seadanya, tidak adanya perlindungan dari sinar matahari yang terik beserta noktah-noktah tipis lapisan kapur pada permukaan airnya, mungkin menjadi penyebab utama pengunjung enggan berendam didalamnya.

Penulis : Silhouette
Fotografer : Silhouette
Lokasi : Parung, Bogor
Sumber : navigasi.net
READ MORE - Air Panas Tirta Sanita Ciseeng

Ikan Dewa

Ikan Dewa adalah sejenis ikan yang dikeramatkan oleh penduduk di sekitar wilayah Desa Maniskidul dan sekitarnya. Bahkan di sekitar wilayah Kuningan-Jawa Barat, ikan ini dipercaya sebagai ikan istimewa yang membawa berkah bagi siapapun yang dapat menyentuh badannya.

Belakangan ini, legenda tersebut terus tersebar dari mulut ke mulut- hingga masyarakat sekitar Cirebon bahkan dari luar Cirebon, datang ke Kuningan ingin melihat ikan dewa, baik hanya sekedar melihat ataupun mempunyai tujuan yang lain.

Banyak legenda tentang asal-muasal ikan ini, seperti dikatakan oleh Pak Mamat, salah satu petugas penyewaan ban yang sudah bertahun-tahun ada di Cibulan," Dahulu kala ketika Prabu Siliwangi masih hidup, beliau memerintah dengan adil dan bijaksana, sehingga hampir semua prajurit dan kawulanya tunduk dan hormat pada Sang Prabu.

Namun tak ada gading yang tak retak, begitupun dengan Prabu Siliwangi, walaupun sudah memerintah dengan adil, masih ada saja prajurit yang tidak suka dan tidak puas terhadap Prabu Siliwangi. Singkat cerita, dikutuklah prajurit-prajurit yang membangkang tersebut sehingga menjadi ikan, yang keberadaannya masih bisa kita saksikan sampai sekarang di kolam Cibulan".

Dan anehnya tak ada satu orangpun yang berani mengambil ikan ini, baik hanya sekedar dipelihara, atau bahkan dimasak untuk dimakan. Karena, menurut kepercayaan masyarakat sekitar, barangsiapapun yang berani menganggu ikan-ikan tersebut, terhadap dirinya akan terjadi sesuatu bencana.

Ini cerita yang bisa kita dengar dari masyarakat sekitar, boleh percaya atau tidak. Bahkan menurut cerita yang berkembang, jumlah ikan yang ada di kolam ini dari dulu sampai sekarang tidak pernah bertambah atau berkurang, tetap segitu-gitu saja. Pernah juga tiba-tiba, ikan-ikan Dewa yang berada dalam kolam tersebut hilang entah kemana, kemudian esok harinya kembali seperti semula.

Sadar akan potensi wisata tentang keberadaan ikan Dewa, maka desa setempat membangun tempat ini, sehingga selain para pengunjung bisa melihat ikan Dewa yang terlihat cantik dan seksi, juga para pengunjung bisa berenang bersamanya. Jangan khawatir, ikan Dewa atau ikan Kancra Putih, karena bersisik putih mengkilap, tidak akan menganggu manusia yang ingin berenang bersamanya, malah seakan-akan mereka merasa senang, karena kadang-kadang sambil berenang mereka mengikuti kita.

Kolam yang dibangun secara permanen pada tahun 1939 ini cukup luas juga, kurang lebih dengan panjang kurang lebih 70 meter dan lebar kurang lebih 30 meter. Masing-masing mempunyai kedalaman yang berbeda, sesuai dengan kategori, yaitu kolam untuk anak-anak dan kolam untuk dewasa.

Air yang sejuk, langsung diperoleh dari lereng Gunung Ciremai, terlihat bening dan menggoda kita untuk berenang bersama ikan Dewa yang berada dalam kolam tersebut. Untuk menjaga kebersihan kolam Cibulan, kolam dikuras sekali dalam dua minggu, atau bisa lebih, jika dirasa air sudah sangat kotor.

Begitupun dengan fasilitas yang ada di tempat ini, yaitu ruang bilas mandi, ruang ganti pakaian, penyewaan ban, penyewaan baju, semuanya sudah lengkap, rupanya pengelola memang sudah berniat untuk menggabungkan tempat ini sebagai tempat wisata air dan wisata legenda ikan Dewa. Apalagi dengan biaya masuk yang relatif murah, hanya Rp 2,000 per orang, tentu tidak akan memberatkan para pengunjung yang ingin berkunjung ke sini.

Relatif mudah untuk menjangkau tempat ini, karena terletak di tepi jalan propinsi, antara Kuningan - Cirebon di Desa Maniskidul, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. Jarak dari Kota Kabupaten Kuningan kurang lebih 7 km ke arah utara, dan terletak pada ketinggian 550 m diatas permukaan air laut.

Luas keseluruhan areal ini sekitar 5 ha, dimana selain kolam Cibulan juga terdapat Situs Petilasan Prabu Siliwangi ( Raja Pajajaran ), dalam petilasan tersebut terdapat tujuh sumber mata air, yang masing-masing memiliki khasiat bagi orang-orang yang mempercayainya.

Ke tujuh mata air tersebut adalah; mata air kejayaan; mata air Cisadane; mata air kemulyaan; mata air kemudaan; mata air pengabulan; mata air keselamatan dan mata air Cirancana. Pada waktu-waktu tertentu tempat petilasan tersebut banyak diziarahi oleh penduduk setempat ataupun orang-orang dari luar daerah Kuningan dan Cirebon.

Cibulan yang mengandung nilai sejarah, legenda dan tempat wisata dapat dijadikan rangkaian tujuan wisata jika kita berkunjung ke wilayah kuningan. Udara khas pegunungan nan bersih, jauh dari polusi ditambah dengan pemandangan yang indah Gunung Ciremai, selalu menawarkan keindahan wisata Cibulan dan sekitar kuningan.

Penulis : AMGD
Lokasi : Maniskidul, Jalaksana, Kuningan
Fotografer : AMGD
Sumber : Navigasi.Net
READ MORE - Ikan Dewa

Penangkaran Rusa Cariu

Tempat penangkaran Rusa di Cariu ini tidak banyak diketahui orang. Sepi dan jauh dari keramaian. Padahal, lokasi ini sudah ada sejak tahun 1993 dengan nama Wahana Wisata Penangkaran Rusa (WWPR) milik Dinas Perhutani Bogor. Ditilik dari lokasinya, tempat ini sebetulnya potensial didatangi oleh wisatawan lokal yang ada di Jakarta, Bogor dan Cianjur atau Bandung. Artinya, jika mereka tau disini ada tempat wisata alam yang lumayan bagus, tentunya akan banyak pengunjung yang kemari.

Arah dari Jakarta menuju lokasi ini gampang saja, pergilah kearah Cibubur, lalu masuk di jl. Alternatif Cibubur-Cileungsi. Terus saja arahkan mobil kearah Jonggol tembus ke Cianjur. Melalui jalan yg lumayan bagus dan berliku liku melewati sawah yang luas dan deretan perbukitan yang cukup indah, sampailah kita di desa Buana Jaya, Kecamatan Tanjung sari, Cariu, Bogor. Disinilah lokasi WWPR berada, karena itu penduduk sekitar menyebutnya sebagai: “rusa cariu”, artinya penangkaran ini berada diwilayah Cariu. Jika dihitung dari Cibubur, bisa jadi jauhnya sekitar 40 km lebih dan kurang. Tidak jauh amat, kan.

Ditepi jalan berdiri papan nama sederhana dari kayu apa adanya bertuliskan: penangkaran rusa. Belokan mobil, melewati jalan berbatu kasar sepanjang 50m kedalam hingga berhenti ditepi sungai Cibeet yang sangat lebar dan berair deras. Mobil tidak dapat melanjutkan perjalanan karena didepan sudah ada jembatan gantung yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki dan naik motor. Lokasi penangkaran itu sendiri masih perlu berjalan kaki sekitar 50 m lagi melalui hutan sekunder yang nyaman dan satu lokasi camping kecil. Sekilas mata menyapu lokasi, tempatnya sungguh enak, bersih, dibawah bayang bayang keteduhan pepohonan yang rindang dan gemericik air sungai dari kejauhan. Tempat ini cocok juga dipakai buat siapapun yang ingin menyepi dari bisingnya dunia luar. Saya sendiri sempat berkeinginan menghabiskan cuti 2 hari dengan camping disini karena melihat sepinya lokasi ini. Pasti ideal untuk melakukan treking ringan sambil mengitari wilayah ini, kata saya dalam hati.

Didalam, kami melihat satu areal luas yang dibatasi oleh pagar kawat melingkar. Ditengahnya membelah jalan berbentuk jembatan kayu memanjang yang diujungnya ada gazebo lebar. Sebelum masuk kami bersalaman dahulu dengan penjaga lokasi penangkaran ini dan berbicara penuh tawa ramah. Setelah berkenalan kami pun masuk kedalam melewati jembatan kayu itu keareal tempat rusa berada.

Rusa disini lumayan jinak dengan pengunjung. Mereka tanpa ragu bisa mendekat dan meminta makan langsung dari tangan manusia yang memberinya. Ini sebuah momen yang amat menyenangkan. Bisa dibayangkan jika membawa anak kecil kemari, tentunya merupakan hal yang amat berkesan bagi dirinya berdiri berdekatan dengan sekelompok rusa sambil memberi makan langsung dari tangan sendiri. Makanan kesukaan hewan herbivora ini adalah buah buahan manis. Dan rusa-rusa akan dengan antusias mendekat jika dipanggil sambil mengacungkan sekepal buah buahan didepan matanya.

Lucunya, rusa disini takut dengan pengunjung berpakaian dokter. Kata penjaganya, penghuni disini akan sontak berlarian menjauh jika ada orang dengan pakaian dokter kemari. Tampaknya mereka semua jerih dikejar kejar dan ditangkap lalu disuntik oleh dokter hewan yang rutin berkunjung kesini. Saya tertawa geli dalam hati. Ternyata rusa takut juga disuntik, dan luarbiasanya mereka bisa mengingat dari bentuk pakaian manusia yang datang disini. Jadi, pesan moralnya simple saja: “Jika ingin memberi makan rusa, maka jangan berpakaian bak seorang dokter, dijamin rusanya lari bersembunyi diantara semak semak”. Hahaha

Melihat komposisi penghuni lokasi WWPR, disini terdapat campuran beberapa species rusa. Diantaranya adalah rusa totol (Axis Axis), rusa jawa (Axis Timorensis), dan rusa bawean (Axis Kuhlii). Populasinya lumayan banyak, ada sekitar 70 ekor rusa dibiarkan lepas dalam kandang seluas 2 ha.

Populasi ini akan tetap dipertahankan dalam jumlah ideal dengan luas kandang. Rusa memang hewan yang aktif soal “anak beranak”. Dalam usia 20 bulan, seekor rusa jantan sudah bisa membuat bunting 20 ekor rusa betina. Luar biasa memang. Tidak heran lantas muncul mitos bahwa organ rusa sanggup mendongkrak libido (walaupun itu tidak terbukti secara ilmiah). Apabila sekelompok komunitas rusa tidak menemui predator alamiahnya dialam, dipastikan jumlah mereka akan dengan cepat membengkak.

Karena itu, jika jumlahnya berlebih maka sisanya akan dijual kepada siapapun yang berminat . Kedengarannya aneh memang, tapi rusa disini memang boleh dibeli melalalui Perhutani Bogor. Harga persatuan antara 2 juta hingga 5 juta per ekor tergantung usia dan berat tubuhnya. Apakah dibeli untuk dimakan? Entahlah. Penjaga disini juga tidak tau untuk apa rusa itu dibeli. Yang pasti, mereka mengaku tidak mau menyembelih rusa dan memakannya. Rasa sayang karena memelihara rusa membuat mereka tidak tega hati memakan binatang piaraan ini.
Tanpa sadar jam sudah bergeser hingga jam 2 siang. Perut kami sudah berbunyi berdentam dentam bak genderang perang, tanda lapar mulai menyerang.

Kami segera menyantap makanan yang kami bawa dari Jakarta sambil duduk duduk di saung sederhana yang ada disana. Lokasi ini jeleknya cuma satu yakni tidak ada warung makan atau berjualan snack ringan. Karena itu, jika tidak mau lapar, lebih baik siapkan makanan sejak dari Jakarta. Jangankan makanan, listrik pun tak ada disini. Semuanya serba sederhana dan apa adanya. Untungnya disini ada MCk yang memadai. Pengunjung yang sudah kebelet bisa “bertapa” dengan nyaman di MCK tanpa perlu takut melakukan itu disungai Cibeet

Penulis : hantulaut(hsg)
Lokasi : Buanajaya, Cariu, Bogor
Fotografer : hantulaut
Sumber : Navigasi.net
READ MORE - Penangkaran Rusa Cariu

Semalam di Baduy Dalam

Semalam di Baduy DalamTak sembarang orang bisa bertandang di tengah orang Baduy Dalam. Hidup di tengah harmonisasi alam dan kebijakan tentang nilai luhur yang terus dijaga, seakan menjalar dalam nadi. Sebuah jembatan bambu dengan bentuknya yang unik, menyambut kedatangan setiap tamu yang mengunjungi Baduy Dalam. Inilah perbatasan yang memisahkan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam. Setelah melewati bagian ini, semua larangan yang diberlakukan di daerah ini harus ditaati setiap pendatang, termasuk saya tentunya.


Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan barang-barang elektronik, tidak mengotori sungai dengan sabun atau odol, berkata dan berbuat tak senonoh, serta sederet pantangan lainnya.

Selain itu, wilayah yang dihuni oleh orang Kanekes ini juga terlarang bagi orang asing (non-WNI). Konon beberapa wartawan asing sampai sekarang belum berhasil masuk ke wilayah ini.

Kalaupun ada yang mengaku sampai Baduy, nyaris dipastikan sesungguhnya mereka berada di lingkungan Baduy Luar, yang lebih terbuka terhadap orang luar dan sudah "terkontaminasi" modernisasi.

Semalam di Baduy DalamNama Baduy ini diambil dari nama sungai yang melewati wilayah ini, sungai Cibaduy. Secara geografis terletak tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten.

Dengan ketinggian 300-600 m di atas permukaan laut (DPL), membuat wilayah ini memiliki topografi dengan berbukit dan bergelombang, dengan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan).

Perjalanan yang saya tempuh dari Baduy Luar menuju Baduy Dalam sekitar tiga jam. Bila melalui Desa Nangrang, atau desa yang dianggap bagian belakang dari Desa Baduy Dalam (Cibeo, Cikertawarna, dan Cikeusik). Desa Nangrang ini merupakan kawasan terakhir bagi kendaraan roda empat dan dua, kemudian bisa dititipkan pada penduduk setempat.

Kali ini saya dan rombongan memang mencoba rute baru, untuk mengambil jalan pintas langsung menuju Baduy Dalam tanpa menginap di Baduy Luar. Dengan catatan, medan yang akan kami lalui lebih terjal dan menantang.

Jalur lainnya yang harus menginap melalui Ciboleger, menginap semalam di sana, sebelum masuk ke Baduy Dalam. Meskipun jarak tempuhnya bisa sekitar enam jam jalan kaki, yang tak sebanding dengan orang Baduy yang hanya perlu waktu satu jam saja.

Sebelum masuk wilayah ini, pengunjung harus melapor dulu kepada pemangku adat setempat yang disebut Jaro Pulung, seorang pimpinan adat yang tugasnya membina hubungan dengan kebudayaan luar. Setelah mengisi buku tamu dan mengutarakan maksud rombongan kami, perjalanan dimulai dari sebuah titik yang bertuliskan "Selamat Datang di Baduy".

Wilayah Baduy Dalam, di mana mereka tinggal ada di pedalaman hutan, masih terisolir, dan belum terusik dengan kebudayaan luar. Kebudayaan mereka masih asli, sehingga sulit bagi masyarakat lainnya untuk bisa masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam.

Peraturan yang tetap dipegang teguh hingga kini diantaranya bagi warganya adalah tidak menggunakan kendaraan jenis apapun untuk sarana transportasi, tidak memakai alas kaki, tidak menggunakan alat elektronik (teknologi), hanya mengenakan pakaian berwarna hitam/ putih yang ditenun dan dijahit sendiri, dan semua hal yang berkaitan dengan "kembali ke alam". Karenanya selama ini tidak bisa sembarangan orang masuk ke wilayah suku Baduy Dalam.

Setelah melewati perbukitan yang cukup terjal, keluar masuk beberapa kampung Baduy Luar, sampailah kami di perkampungan Baduy Dalam yang pertama, Cikertawarna. Matahari sudah tak tampak, jalanan pun mulai terlihat samar-samar. Kampung yang konon dihuni tak lebih dari 50 kepala keluarga ini amat sepi, sama sekali tak terdengar suara kehidupan. Hanya ada seorang bapak tua yang menyapa kami dalam bahasa Indonesia campur Sunda dialek Banten. Setelah tahu tujuan kami untuk mengunjungi kampung Cibeo, ia langsung memandu kami hingga ke ujung kampung.

Semalam di Baduy DalamDua puluh menit kemudian kami telah sampai di Cibeo, tempat kami bermalam hari itu. Sekelompok anak-anak masih tampak berlarian di lorong-lorong antar rumah meski hari sudah mulai gelap. Kami disambut dengan penuh keakraban, salah seorang warga langsung menawarkan rumahnya sebagai tempat menginap. "Di tempat kami saja," ujar Syarif, lelaki berusia 25 tahun tersebut.

Ini bukan pertemuan pertama saya. Lima tahun lalu saya pernah juga menginap di rumahnya. Dan, tampaknya tak ada satu pun perubahan terjadi disini. Semua tetap sama, mulai dari perabotan hingga ruang-ruang dalam rumahnya. Yang berbeda, kini Syarif telah punya tiga anak, sulungnya pun telah meningkat remaja.

Setelah istirahat sejenak, kami telah disuguhi kopi dan teh hangat, berikut makan malam nasi dengan lauk mie instant campur kornet. Wah, meski hanya menu sederhana, namun beberapa teman setuju bahwa Baduy Dalam berhasil membuat "mie instant" jadi makanan terlezat di dunia - saat itu -. Begitu juga dengan kopinya yang terasa legit. Benar-benar menjadi makan malam penuh kesan.

Selepas makan kami duduk-duduk di teras sambil ngobrol dengan sang pemilik rumah. Hebatnya, kami tak dapat melihat wajah lawan bicara karena malam yang amat pekat. Justru disinilah uniknya, hanya mendengar suaranya tanpa bisa membayangkan ekspresi wajahnya. Tak lama kemudian datang teman-teman Syarif lainnya, jadilah malam itu kami mengobrol layaknya sebuah pertemuan keluarga yang penuh canda tawa.

Meski masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal budaya baca-tulis, namun ternyata mereka dapat mengikuti perkembangan dunia luar. Bahkan kami pun dibuat terkaget-kaget dengan berbagai pertanyaan atau jawaban mereka yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang cerdas, dibalik kebersahajaannya.

Salah satu dari mereka dengan fasih menjelaskan asal-usul moyangnya dengan lengkap, bahkan mampu juga bicara tantangan yang harus mereka hadapi dalam era modernisasi.

Tak terasa malam terus merambat. Sayup-sayup terdengar suara alat musik tradisional yang dipetik dengan penuh perasaan. Lilin, satu-satunya yang menjadi alat penerang rumah Sarif pun makin kecil nyalanya.

Semalam di Baduy DalamSetelah rombongan warga setempat pulang, saatnya menikmati "malam" yang sesungguhnya. Udara super dingin di malam yang pekat serta suara lolongan anjing, benar-benar "pas" untuk mereka yang butuh intropeksi diri. Kesunyian yang membeku inilah yang membuat saya tak kuasa memejamkan mata.

Namun, tak terasa hari telah berganti. Suara celoteh anak-anak kecil membangunkan saya. Rumah mereka yang didirikan diatas batu (ini kepercayaan mereka bahwa rumah supaya kokoh harus berdiri di atas batu) serta berbilik bambu, membuat udara masuk dengan leluasa. Tak salah bila sebagian besar dari rombongan kami menggigil semalaman. Sementara anak-anak kecil di Baduy Dalam ini tidur tanpa selembar kain di badan.

Bermalam di tempat terpencil ini tak hanya dapat belajar banyak soal kearifan hidup, tetapi kembali menyadarkan bahwa alam benar-benar bisa menjadi sahabat manusia untuk kembali menjadi manusia yang "membumi". Setelah menikmati dinginnya air kali saat mandi, kami pun bergegas pulang kembali ke Jakarta. Tak lupa membawa air bambu hitam untuk obat batuk.

Ada begitu banyak kesan tertinggal di sana. Meski lelah meraja, dan kaki pegal tak ketulungan, rasanya sebanding dengan pengalaman ini. Belum lagi mobil yang kami tumpangi meluncur kembali ke Jakarta, seorang teman langsung nyeletuk," Kapan balik lagi ke Cibeo ya?" tanyanya.

Orang Kanekes

Masyarakat baduy dikenal dengan sebutan Orang Kanekes. Sehari-hari pemerintahan adatnya dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi kedalam empat jabatan, yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah.

Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka yang jumlahnya 9 orang bertugas menjaga, mengurus dan memelihara tanah titipan leluhur mereka. Jaro tanggungan adalah pemimpin bagi Jaro Dangka dan Jaro Tangtu (Jaro Duabelas).

Sementara Jaro Pamarentah bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. Dan, pimpinan tertinggi bagi mereka disebut "Puun", sebuah jabatan yang diemban secara turun-temurun. Namun jabatan ini tak selalu turun dari bapak ke anak, bisa juga kerabat lainnya.

Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani (huma). Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual hasil hutan seperti buah durian, asam, dan madu. Saat tak ada pekerjaan di ladang, ada beberapa orang Baduy yang berkelana ke kota besar dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Semalam di Baduy DalamCenderamata

Dimasa lalu perdagangan di tempat ini dilakukan secara barter. Namun sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Keahlian lain yang dimiliki warga Baduy Dalam adalah membuat kerajinan tangan, berupa manik-manik, anyaman, serta menenun kain, seperti kerajinan tangan tas koja yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang dianyam.

Dan, biasanya saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, mereka senang berkelana ke kota besar di sekitarnya menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Jakarta termasuk tempat tujuan favorit mereka, meski harus berjalan kaki beberapa dengan rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang.

Sumber: Majalah Travel Club
READ MORE - Semalam di Baduy Dalam

KAMPUNG NAGA: Uniknya Bersatu dengan Alam

Angin sejuk semilir menerpa pori-pori kulit ketika menjejakkan kaki di Kampung Naga. Kampung kecil yang terletak nun jauh dari hiruk pikuk metropolitan dan perkembangan teknologi globalisasi. Kampung ini berselimutkan nuansa alam yang masih perawan tidak tersentuh dan terkontaminasi oleh kemajuan peradaban. Namun demikian, masyarakat Kampung Naga hidup dengan rukun, damai dan sejahtera. Hidup berkecukupan dengan kekayaan-adat istiadat dan kebudayaan tradisionalnya yang masih melekat dan dijunjung tinggi.

Dalam sejarah tataran Sunda, memegang teguh adat adalah hal mutlak bagi setiap warganya. Jejak kental memegang teguh adat ini masih dapat ditemukan di beberapa kampung adat di daerah Sunda, diantaranya adalah Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis dan Kampung Kanekes Baduy di Banten. Mereka mungkin tertinggal dalam takaran teknologi dan rasionalitas, akan tetapi mereka telah membuktikan bahwa tradisi tradisional Sunda yang dipegang teguh memiliki kekuatan yang sakral dan unik dalam melangengkan kehidupan harmonis dengan alam semesta. Pesona alamnya masih terpelihara dengan sangat natural, jauh dari degradasi oleh polusi dan pencemaran lingkungan. Masyarakat adat Kampung Naga memiliki banyak kearifan yang patut kita pelajari untuk menciptakan keseimbangan hidup dengan ekosistem alam.

Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya sekitar 26 kilometer. Untuk mencapai perkampungan Naga Anda harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) berjumlah lebih dari 360 anak tangga yang dibuat berkelok hingga ke tepi sungai Ciwulan dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam areal Kampung Naga, yang biasa disebut Kampung Naga Dalam. Sepanjang menyelusuri anak tangga tersebut, Anda akan disuguhi panorama hijau perbukitan, sangat jauh berbeda dengan polusi kosmopolitan yang kerap dihirup di perkotaan.

Kampung Naga berada di lembah subur dengan suara syahdu gemericik air sungai sepanjang kaki melangkah. Penduduknya yang bermata-pencaharian sebagai petani dan peternak, membuat areal di sekitar perkampungan disulap menjadi hamparan permadani hijau sejauh mata memandang. Lukisan Ilahi yang tiada tara indahnya berbingkaikan sungai Ciwulan yang bening bak kristal. Sungai Ciwulan adalah salah satu sungai yang menjadi oase bagi penduduk Kampung Naga. Sungai ini sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Sejuk dan dingin alami, itulah yang Anda rasakan ketika menenggelamkan jemari kaki ke dalam aliran sungai Ciwulan. Jernih dan bersih, sehingga penduduk desa seringkali melakukan kegiatan sehari-harinya seperti mandi dan mencuci pada aliran sungai ini. Sungguh suasana pedesaan yang mulai langka untuk ditemukan di era globalisasi saat ini. Back to nature, semua yang mereka manfaatkan selalu berasal dari alam dan tetap menjaga kelestarian alamnya.

Keunikan lain dari Kampung Naga adalah kekayaan budayanya. Kampung ini merupakan suatu kampung kecil yang penduduknya sangat teguh dan patuh memegang tradisi nenek moyang secara turun-temurun. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kesahajaan dan keharmonisasian antara adat-istiadat tradisional bercampur dengan kekentalan ajaran agama Islam yang dipeluk. Apapun yang hendak masyarakatnya lakukan, sang tetua desa akan memutuskannya berdasarkan adat-istiadat dan ajaran agama Islam. Ini dilakukan untuk menghindari pamali (dosa) yang dapat menimbulkan malapetaka menurut kepercayaan setempat.

Kesan tradisional terlihat dari bentuk dan konstruksi bangunan di Kampung Naga. Kampung adat ini memiliki ornamen rumah yang unik dan dibuat seragam, mulai dari bahan bangunan sampai pada potongan bangunan dan arah menghadapnya. Ini harus dipatuhi warga, aturan ini dimaksudkan agar penggunaan lahan lebih tertata dan tidak terasa sempit. Rumah-rumah itu bersusun bertingkat seperti menggambarkan sebuah undak-undakan sehingga tampak berderet sejajar dan tertata dengan rapih.

Rumah yang berada di Kampung Naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang dari 108 bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah Masjid, lei (Lumbung Padi) dan patemon (Balai Pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri, maka telah tersedia areal untuk membangun rumah di luar perkampungan Kampung Naga Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.

Bentuk bangunan di Kampung Naga baik rumah, musollah, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi memiliki bentuk yang serupa. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagai penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik) dengan pintu terbuat dari serat rotan. Keunikan lain tampak pada letak semua bangunan yang menghadap hanya ke utara atau selatan sebagai bentuk kepercayaan mereka dari generasi ke generasi. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gaya arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.

Semua peralatan rumah tangga yang digunakan oleh penduduk Kampung Naga pun masih sangat tradisional dan umumnya terbuat dari bahan anyaman. Dan tidak ada perabotan seperti meja atau kursi di dalam rumah. Hal ini tidak mencerminkan bahwa Kampung Naga merupakan kampung yang terbelakang atau tertinggal, akan tetapi mereka memang membatasi budaya modern yang masuk dan selalu menjaga keutuhan adat tradisional agar tidak terkontaminasi dengan kebudayaan luar. Bahkan kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi kebakaran. Pemangku adat pun memandang apabila aliran listrik masuk maka akan terjadi kesenjangan sosial diantara warganya yang berlomba-lomba membeli alat elektronik dan dapat menimbulkan iri hati.

Kehadiran televisi dan radio pun merupakan hal yang ditabukan di dusun ini, menurut mereka media elektronik dapat mempengaruhi mental anak-anak dan melemahkan adat-istiadat yang ada. Andaikan pun ada, hanya televisi hitam putih dengan bahan aki sebagai generatornya. Dalam dunia pendidikan, para pemangku adat tidak melarang apabila ada warganya yang ingin menuntut ilmu atau belajar di luar areal perkampungan adat, akan tetapi ketika mereka kembali harus tetap mengikuti istiadat yang berlaku agar tidak luntur dan punah.

Bagi Anda yang menyukai kuliner, Anda dapat mencicipi makanan kecil khas kampung Naga seperti opak, wajit dan ranginang. Rasa dari Opak dan Ranginang ini sangatlah gurih dan lezat berbahan baku beras yang telah dikeringkan dan diberi sedikit bumbu terasi, sedangkan Wajit adalah makanan bercitarasa manis yang berasal dari beras ketan dan umumnya berwarna coklat karena berbahan baku gula jawa. Apabila Anda ingin mendapatkan kenang-kenangan dari perjalanan Anda, penduduk setempat juga menjual kerajinan tangan yang terbuat dari bahan serat kayu berbentuk gelang-gelang, seruling ataupun hiasan rumah berbentuk anyaman.

Kultur budaya dan istiadat yang kental di Kampung Naga menjadikan koleksi budaya yang tak ternilai harganya bagi khasanah pariwisata Indonesia. Beberapa Upacara Adat unik dan menarik digelar setiap tahunnya. Berikut adalah Upacara Adat yang masyarakat Kampung Naga sering selenggarakan:

Upacara Menyepi

Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik pria maupun wanita. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.

Upacara Hajat Sasih

Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga Dalam maupun di Kampung Naga Luar. Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam leluhur. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diberikan kepada seluruh warga. Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama Islam dapat dijalankan secara harmonis.

Upacara Kawinan

Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah secara Islam. Upacara ini dilaksanakan dengan sangat sakral mulai dari penentuan tanggal baik untuk perayaan sampai dengan resepsi berakhir. Adapun tahap-tahap dalam upacara perkawinan tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan (sungkeman).

Itulah sekilas pandang tentang kehidupan masyarakat Kampung Naga yang masih kuat mentaati adat-istiadat dan menjunjung warisan nenek moyangnya secara turun temurun. Kekuatan adat-istiadat dan keteguhan dalam memeluk agama, telah membuat masyarakat setempat hidup dalam gelembung kesederhanaan dan berkecukupan. Kampung Naga dapat menjadi pilihan alternatif agenda wisata budaya Anda selanjutnya, selamat berpetualang!

(Photo http://imageindonesia.com : foto 2,3,4 – Foto Hilda : foto 1)

sumber : www.explore-indo.com
READ MORE - KAMPUNG NAGA: Uniknya Bersatu dengan Alam

“Green Canyon” - Eksotisme di Utara Jawa Barat

Memiliki potensi ragam panorama alam yang begitu indah, objek wisata alam Green Canyon terletak di Desa Kertayasa, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dengan menempuh melalui jalan darat dari Jakarta lebih kurang 7 – 8 jam perjalanan atau 45 menit dari objek wisata bahari Pantai Pangandaran.

Objek wisata ini mempunyai nama sebenarnya adalah Cukang Taneuh (Jembatan Tanah), sebuah tempat yang memiliki potensi ragam panorama alam dengan beraneka ragam pesona dan daya tarik wisata yang mampu menarik para wisatawan untuk berkunjung ketempat ini.

Jika ingin mencapai lokasi tujuan, kita diwajibkan untuk menyewa sebuah perahu dengan tarif Rp. 75.000/perahu dengan kapasitas 5 penumpang. Terasa lebih murah jika kita berkunjung dengan keluarga. Beruntung jika kita bisa langsung naik keperahu, biasanya pada hari libur tempat ini begitu ramai dikunjungi para wisatawan baik lokal maupun asing. Oleh karena itu, kita harus antri menunggu panggilan nomor yang terdapat di balik karcis sewa perahu tersebut. Setelah nomor karcis dipanggil barulah kita turun ke dermaga untuk segera naik keatas perahu. Diatas perahu yang sudah menggunakan mesin ini terdapat sebuah pelampung, dimana jumlah pelampung tersebut sesuai dengan isinya.

Maka, dimulailah perjalanan yang pastinya sangat menyenangkan. Selama dalam perjalanan kita disuguhi pemandangan sungai dengan kiri dan kanan pepohonan yang rimbun. Selain itu, suasana di sekitar sungai pun begitu sunyi. Suara angin yang meniup pepohonan dan sesekali terdengar kicauan burung melengkapi perjalanan yang cukup menantang ini. Mungkin kita tahu hewan yang satu ini, Biawak. Disungai Cijulang inilah binatang reptil tersebut berkembang biak. Jadi tidak aneh jika kita sering melihat binatang tersebut berada di pinggiran sungai dalam perjalanan. Hewan – hewan lain seperti; Ular Kadut, Monyet dan Buaya pun terdapat disini.

Setelah menghabiskan waktu perjalanan selama 20 menit, kita disuguhi oleh 2 bukit yang kokoh. Tikungan demi tikungan telah terlewati, tibalah kita disebuah gua Green Canyon yang memiliki stalaktit dan stalakmit unik. Sungguh pemandangan yang luar biasa, sang nahkoda pun mecoba untuk memarkirkan perahunya untuk kita bisa turun dengan mudah. Sungai yang berwarna Hijau Toska diapit dengan dua tebing yang menjulang tinggi serta semilirnya angin yang sejuk. Serasa tempat itu memberikan salam selamat datang di Green Canyon kepada para pengunjung. Memang tempat yang eksotis, air yang ada di dalam sini lumayan deras, berbeda saat kita kita memulai perjalanan ke dalam gua. Pelampung yang terikat erat serta plastik yang membungkus camera, petualangan pun dimulai. Tim E-I pun berenang di sungai yang mempunyai kedalaman hingga 2 meter dengan melawan arus air. Awal yang cukup mendebarkan juga menyenangkan. Tebing yang berwarna hijau terlihat sangat begitu kokoh serta batu – batu besar, melengkapi kharisma keindahan saat berada kami berada di bagian dalamnya. Sungguh panorama yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.

Sejarah terciptanya nama ”Green Canyon”

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Objek Wisata Alam ini mempunyai nama sesungguhnya adalah Cukang Taneuh yang artinya Jembatan Tanah. Karena di hulu aliran Sungai Cijulang, terdapat sebuah jembatan tanah mempunyai lebar 3 meter dengan panjang 40 meter. Jembatan tersebut menghubungkan dua tebing di atas aliran air sungai yang membentuk sebuah terowongan.

Sedangkan nama Green Canyon berasal dari Turis Asing yang sedang berwisata ditempat ini beberapa tahun silam. Wisman ini menyusuri sungai cijulang dan menamakan objek wisata tersebut menjadi Green Canyon. Berarti kalau di Amerika ada Grand Canyon sedangkan di Indonesia ada Grand Canyon. Hingga saat ini, walaupun masih tetap ada nama Cukang Taneuh yang tertulis papan dekat pintu gerbang masuknya. Namun kebanyakan orang lebih sering menyebutnya Green Canyon. Jadi, apa nama Cukang Taneuh sulit disebut, kurang menjual atau dengan nama Green Canyon lebih mempunyai magnet tersendiri untuk menarik para wisatawan untuk berkunjung..? Tetapi apapun sebutannya, kita sebagai warga Negara Indonesia wajib bersyukur dan juga bangga akan keunikan-keunikan objek wisata baik itu alam, budaya, bahari dan lain sebagainya yang tidak kalah menariknya dari objek-objek wisata yang ada di dunia.

Pada akhirnya, mari kita bersama-sama untuk terus melestarikan serta menjaga agar seluruh objek wisata yang ada di Indonesia tidak berubah dan masih seperti aslinya. (teks&foto: Yosef Ferdyana)

sumber : www.explore-indo.com
READ MORE - “Green Canyon” - Eksotisme di Utara Jawa Barat

Situ Bagendit

Lingkungan Alam Fisik

Objek wisata Situ Bagendit terletak di desa Bagendit, Kecamatan Banyuresmi ini merupakan objek wisata alam berupa danau dengan batas administrasi disebelah utara berbatasan dengan Desa Banyuresmi, disebelah selatan berbatasan dengan Desa Cipicung, disebelah timur berbatasan dengan Desa Binakarya, dan disebelah barat berbatasan dengan Desa Sukamukti.

Aktivitas wisata yang dapat dilakukan di Situ Bagendit ini antara lain menikmati pemandangan, mengelilingi danau dengan menggunakan perahu atau rakit. Para pengunjung juga dapat melakukan kegiatan rekreasi keluarga, menikmati pemandangan serta kegiatan bersepeda air.

Objek wisata ini dikelola oleh Bapak Ajan Sobari dengan status kepemilikan berada di tangan pemerintah daerah yang kewenangannya dilimpahkan kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut dan pihak swasta yaitu Bapak Adang Kurnia. Berdasarkan perda no. 11 tahun 2001 harga masuk tiket ke kawasan ini Rp. 1.000/orang untuk dewasa dan Rp. 500/orang untuk anak-anak.

Aspek Khusus

Objek dan daya tarik wisata alam Situ Bagendit memiliki kualitas lingkungan, kebersihan dan bentang alam dalam kondisi yang baik. Bangunan-bangunan yang terdapat di kawasan, baik yang permanen maupun semi permanen, dalam kondisi terawat baik. Di kawasan ini terdapat pencemaran sampah dan vandalisme berupa coretan di bangunan dan pohon. Visabilitas di kawasan ini sedikit terhalang, tingkat kebisingan yang sedang dan terdapat rambu iklan.

Fasilitas yang tersedia di kawasan ini yaitu penyewaan 60 buah rakit dengan tarif Rp.25.000/15 menit, 11 buah sepeda air dengan tariff Rp.10.000/15 menit yang dalam kondisi yang baik. Terdapat pula beberapa bangku taman dan 6 buah shelter yang disewakan untuk pengunjung dengan harga Rp.3.000/jam. Terdapat juga kereta api mini dengan tarif Rp.2.000 dan kolam renang dikawasan Situ Bagendit ini. Suasana di kawasan objek wisata ini tergolong cukup nyaman dikarenakan pembangunannya sudah direncanakan dengan baik oleh dinas pariwisata namun masih juga terdapat kios liar dan pedagang kaki lima yang dengan sembarangan menggelar barang dagangan mereka sehingga tingkat visabilitas di kawasan tersebut menjadi sedikit terhalang.Objek dan daya tarik wisata Situ Bagendit ini beroperasi pukul 07.00-17.00. Kondisi bangunan yang terdapat di kawasan ini dalam kondisi yang baik dengan jenis material bangunan permanen dan semi permanen dalam tata ruang yang cukup baik dikarenakan pembangunan di kawasan Situ Bagendit ini sudah direncanakan dengan baik. Dikawasan objek dan daya tarik wisata Situ Bagendit ini kualitas lingkungan, kebersihan dan bentang alamnya dalam kondisi yang baik.di kawasan ini terdapat pencemaran sampah dan vandalisme berupa coretan di bangunan dan pohon yang disebabkan oleh pengunjung.Visabilitas di kawasan ini sedikit terhalang, tingkat kebisingan yang sedang dan sedikit terdapat rambu iklan.

Sumber daya listrik di kawasan ini berasal dari PLN dengan voltase 220 volt dan distribusi yang cukup. Sumber daya air bersih di kawasan ini berasal dari sumur dan PDAM dengan kualitas air yang jernih, rasa air yang tawar, dan bau air yang normal. Terkadang terdapat kendala pemanfaatan air di kawasan Situ Bagendit yaitu apabila musim kemarau air disekitarnya menyurut. Sistem pembuangan limbah di kawasan ini yaitu melalui septic tank, selokan dan melalui sistem irigasi. Kawasan wisata Situ Bagendit ini juga memiliki sistem komunikasi berupa telepondalam jumlah yang kurang memadai. Terdapat pula jalan setapa dikawasan Situ Bagendit ini yang panjangnya ?b 50m. di depan kawasan Situ Bagendit terdapat tempat parkir dengan luas 1400 m2 dengan daya tampung 30 bus, 60 kendaraan pribadi dan 180 kendaraan bermotor dalam kondisi yang cukup baik dengan lapisan permukaan berupa tanah, namun vegetasi peneduhnya kurang memadai. Terdapat sebuah pos tiket yang juga berfungsi sebagai pintu masuk dalam kondisi yang cukup baik.terdapat pula sebuah toilet umum dalam kondisi bangunan dan kebersihan yang cukup. Dikawasan ini terdapat taman bermain dengan vegetasi peneduh dan dalam kondisi yang cukup. Terdapat tempat ibadah berupa Mushola dan juga terdapat 10 buah tempat sampah dikawasan wisata Situ Bagendit.

Aksesibilitas

Jarak kawasan wisata Situ Bagendit ini dari pusat kota Garut yaitu 4 km. Terdapat angkutan umum berupa angkot jurusan Terminal Guntur-Kp.Mengger dan Garut-Limbangan dengan tarif Rp.1.500 dan ojeg dengan tariff Rp.2.000.Kualitas pemandangan dan tingkat keamanan sepanjang jalan di kawasan objek dan daya tarik wisata ini cukup baik.jumlah karyawan di objek dan daya tarik wisata Situ Bagendit ini yaitu 6 orang. Pengunjung yang berkunjung ke objek wisata ini perbulannya mencapai 400-600 orang. Pengunjug tersebut biasanya berasal dari Garut, Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor,Bandung dan Jakarta

(Sumber : garut.go.id)

READ MORE - Situ Bagendit

GUNUNG TANGKUBAN PERAHU: Fenomena Alam Berbalut Legenda Cinta


Masih ingatkah Anda tentang cerita legenda Sangkuriang dari tanah Pasundan, Jawa Barat? Legenda turun-temurun ini bercerita tentang seorang anak bernama Sangkuriang yang mencintai ibu-nya sendiri (inses), Dayang Sumbi.

Suatu hari Dayang Sumbi ingin sekali memakan hati rusa. Dirinya pun menyuruh Sangkuriang untuk segera berburu rusa ke hutan. Namun, setelah sekian lama berburu, Sangkuriang tidak mendapatkan hasil buruannya. Karena takut mengecawakan hati sang ibu, Sangkuriang membunuh Tumang (anjing kesayangannya). Tumang sesungguhnya adalah Ayah dari Sangkuriang yang menjelma menjadi seekor anjing. Karena berbagai alasan, sang suami tidak dapat memperlihatkan wujud aslinya.

Dayang Sumbi sadar bahwa yang dibunuh Sangkuriang adalah si Tumang, dan bukannya rusa. Murka, Dayang Sumbi memukul Sangkuriang hingga jatuh. Kening Sangkuriang terluka, darahnya pun bercucuran. Hingga akhirnya Dayang Sumbi mengusir darah dagingnya sendiri untuk selama-lamanya.

Tahun demi tahun berlalu dan Sangkuriang tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Kemudian ia bertemu dengan Dayang Sumbi yang masih tetap tampak jelita dan belia. Mereka jatuh cinta. Sampai akhirnya Dayang Sumbi menemukan bekas luka di kening Sangkuriang. Yakin Sangkuriang adalah anaknya, Dayang Sumbi menolak lamaran pemuda rupawan itu. Karena Sangkuriang terus berkeras untuk menikahinya, Dayang Sumbi menetapkan sebuah syarat: Ia akan menikahi Sangkuriang apabila pemuda itu dapat menyelesaikan sebuah perahu raksasa dalam satu malam.

Di luar perkiraan Dayang Sumbi, Sangkuriang mampu melakukannya. Perahu itu hampir selesai saat Dayang Sumbi membangunkan para ayam jantan untuk berkokok sebelum waktunya. Kesal karena merasa dirinya gagal, Sangkuriang menendang perahu yang sedang dibuatnya. Perahu itu kemudian terbalik dan berubah menjadi gunung. Hingga kini nama gunung tersebut dikenal dengan sebutan Gunung Tangkuban Perahu.

Uniknya Pesona Tangkuban Perahu

Tidak seperti gunung-gunung berapi pada umumnya, Gunung Tangkuban Perahu mempunyai bentuk yang unik dengan puncaknya yang datar serta memanjang seperti perahu terbalik. Hamparan hijaunya perkebunan teh menjadi salah satu pemandangan yang sangat menarik bagi para wisatawan. Para pengunjung juga bisa menikmati suasana Kota Bandung dari ketinggian dengan dibalut udaranya yang sejuk.

Objek wisata alam yang terletak kurang lebih 25 km ke arah Lembang, atau lebih tepatnya di Desa Cikole ini, juga terdapat sepuluh kawah yang jaraknya berdekatan. Namun yang sering dijelajahi oleh para pengunjung sebanyak tiga kawah yaitu; Kawah Ratu, Kawah Domas dan Kawah Upas. Di Kawah Domas, wisatawan bisa memanfaatkan sumber air panas yang mengandung belerang untuk membasuh badan. Konon kandungan belerang ini bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit.

Uniknya lagi banyak diantara pengunjung yang datang dan merebus telur di kawah ini. Hanya dalam waktu 10 menit telur-telur mereka sudah matang dan lansung bisa dikonsumsi. Hmm...!! Setelah coba mencoba, selain cepat matangnya rasanya pun begitu lezat. Apa ini hanya terbawa suasana saja ya..? Menikmati hangatnya telur rebus ditemani udara dingin. Untuk menuju kawah satu dengan kawah yang lain, para pengunjung bisa berjalan kaki atau menyewa kuda tunggangan. (Yosef Ferdiana, dari berbagai sumber)

sumber : www.explore-indo.com
READ MORE - GUNUNG TANGKUBAN PERAHU: Fenomena Alam Berbalut Legenda Cinta