KAMPUNG NAGA: Uniknya Bersatu dengan Alam

Kamis, 08 Juli 2010

Angin sejuk semilir menerpa pori-pori kulit ketika menjejakkan kaki di Kampung Naga. Kampung kecil yang terletak nun jauh dari hiruk pikuk metropolitan dan perkembangan teknologi globalisasi. Kampung ini berselimutkan nuansa alam yang masih perawan tidak tersentuh dan terkontaminasi oleh kemajuan peradaban. Namun demikian, masyarakat Kampung Naga hidup dengan rukun, damai dan sejahtera. Hidup berkecukupan dengan kekayaan-adat istiadat dan kebudayaan tradisionalnya yang masih melekat dan dijunjung tinggi.

Dalam sejarah tataran Sunda, memegang teguh adat adalah hal mutlak bagi setiap warganya. Jejak kental memegang teguh adat ini masih dapat ditemukan di beberapa kampung adat di daerah Sunda, diantaranya adalah Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis dan Kampung Kanekes Baduy di Banten. Mereka mungkin tertinggal dalam takaran teknologi dan rasionalitas, akan tetapi mereka telah membuktikan bahwa tradisi tradisional Sunda yang dipegang teguh memiliki kekuatan yang sakral dan unik dalam melangengkan kehidupan harmonis dengan alam semesta. Pesona alamnya masih terpelihara dengan sangat natural, jauh dari degradasi oleh polusi dan pencemaran lingkungan. Masyarakat adat Kampung Naga memiliki banyak kearifan yang patut kita pelajari untuk menciptakan keseimbangan hidup dengan ekosistem alam.

Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya sekitar 26 kilometer. Untuk mencapai perkampungan Naga Anda harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) berjumlah lebih dari 360 anak tangga yang dibuat berkelok hingga ke tepi sungai Ciwulan dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam areal Kampung Naga, yang biasa disebut Kampung Naga Dalam. Sepanjang menyelusuri anak tangga tersebut, Anda akan disuguhi panorama hijau perbukitan, sangat jauh berbeda dengan polusi kosmopolitan yang kerap dihirup di perkotaan.

Kampung Naga berada di lembah subur dengan suara syahdu gemericik air sungai sepanjang kaki melangkah. Penduduknya yang bermata-pencaharian sebagai petani dan peternak, membuat areal di sekitar perkampungan disulap menjadi hamparan permadani hijau sejauh mata memandang. Lukisan Ilahi yang tiada tara indahnya berbingkaikan sungai Ciwulan yang bening bak kristal. Sungai Ciwulan adalah salah satu sungai yang menjadi oase bagi penduduk Kampung Naga. Sungai ini sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Sejuk dan dingin alami, itulah yang Anda rasakan ketika menenggelamkan jemari kaki ke dalam aliran sungai Ciwulan. Jernih dan bersih, sehingga penduduk desa seringkali melakukan kegiatan sehari-harinya seperti mandi dan mencuci pada aliran sungai ini. Sungguh suasana pedesaan yang mulai langka untuk ditemukan di era globalisasi saat ini. Back to nature, semua yang mereka manfaatkan selalu berasal dari alam dan tetap menjaga kelestarian alamnya.

Keunikan lain dari Kampung Naga adalah kekayaan budayanya. Kampung ini merupakan suatu kampung kecil yang penduduknya sangat teguh dan patuh memegang tradisi nenek moyang secara turun-temurun. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kesahajaan dan keharmonisasian antara adat-istiadat tradisional bercampur dengan kekentalan ajaran agama Islam yang dipeluk. Apapun yang hendak masyarakatnya lakukan, sang tetua desa akan memutuskannya berdasarkan adat-istiadat dan ajaran agama Islam. Ini dilakukan untuk menghindari pamali (dosa) yang dapat menimbulkan malapetaka menurut kepercayaan setempat.

Kesan tradisional terlihat dari bentuk dan konstruksi bangunan di Kampung Naga. Kampung adat ini memiliki ornamen rumah yang unik dan dibuat seragam, mulai dari bahan bangunan sampai pada potongan bangunan dan arah menghadapnya. Ini harus dipatuhi warga, aturan ini dimaksudkan agar penggunaan lahan lebih tertata dan tidak terasa sempit. Rumah-rumah itu bersusun bertingkat seperti menggambarkan sebuah undak-undakan sehingga tampak berderet sejajar dan tertata dengan rapih.

Rumah yang berada di Kampung Naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang dari 108 bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah Masjid, lei (Lumbung Padi) dan patemon (Balai Pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri, maka telah tersedia areal untuk membangun rumah di luar perkampungan Kampung Naga Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.

Bentuk bangunan di Kampung Naga baik rumah, musollah, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi memiliki bentuk yang serupa. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagai penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik) dengan pintu terbuat dari serat rotan. Keunikan lain tampak pada letak semua bangunan yang menghadap hanya ke utara atau selatan sebagai bentuk kepercayaan mereka dari generasi ke generasi. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gaya arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.

Semua peralatan rumah tangga yang digunakan oleh penduduk Kampung Naga pun masih sangat tradisional dan umumnya terbuat dari bahan anyaman. Dan tidak ada perabotan seperti meja atau kursi di dalam rumah. Hal ini tidak mencerminkan bahwa Kampung Naga merupakan kampung yang terbelakang atau tertinggal, akan tetapi mereka memang membatasi budaya modern yang masuk dan selalu menjaga keutuhan adat tradisional agar tidak terkontaminasi dengan kebudayaan luar. Bahkan kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi kebakaran. Pemangku adat pun memandang apabila aliran listrik masuk maka akan terjadi kesenjangan sosial diantara warganya yang berlomba-lomba membeli alat elektronik dan dapat menimbulkan iri hati.

Kehadiran televisi dan radio pun merupakan hal yang ditabukan di dusun ini, menurut mereka media elektronik dapat mempengaruhi mental anak-anak dan melemahkan adat-istiadat yang ada. Andaikan pun ada, hanya televisi hitam putih dengan bahan aki sebagai generatornya. Dalam dunia pendidikan, para pemangku adat tidak melarang apabila ada warganya yang ingin menuntut ilmu atau belajar di luar areal perkampungan adat, akan tetapi ketika mereka kembali harus tetap mengikuti istiadat yang berlaku agar tidak luntur dan punah.

Bagi Anda yang menyukai kuliner, Anda dapat mencicipi makanan kecil khas kampung Naga seperti opak, wajit dan ranginang. Rasa dari Opak dan Ranginang ini sangatlah gurih dan lezat berbahan baku beras yang telah dikeringkan dan diberi sedikit bumbu terasi, sedangkan Wajit adalah makanan bercitarasa manis yang berasal dari beras ketan dan umumnya berwarna coklat karena berbahan baku gula jawa. Apabila Anda ingin mendapatkan kenang-kenangan dari perjalanan Anda, penduduk setempat juga menjual kerajinan tangan yang terbuat dari bahan serat kayu berbentuk gelang-gelang, seruling ataupun hiasan rumah berbentuk anyaman.

Kultur budaya dan istiadat yang kental di Kampung Naga menjadikan koleksi budaya yang tak ternilai harganya bagi khasanah pariwisata Indonesia. Beberapa Upacara Adat unik dan menarik digelar setiap tahunnya. Berikut adalah Upacara Adat yang masyarakat Kampung Naga sering selenggarakan:

Upacara Menyepi

Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik pria maupun wanita. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.

Upacara Hajat Sasih

Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga Dalam maupun di Kampung Naga Luar. Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam leluhur. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diberikan kepada seluruh warga. Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama Islam dapat dijalankan secara harmonis.

Upacara Kawinan

Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah secara Islam. Upacara ini dilaksanakan dengan sangat sakral mulai dari penentuan tanggal baik untuk perayaan sampai dengan resepsi berakhir. Adapun tahap-tahap dalam upacara perkawinan tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan (sungkeman).

Itulah sekilas pandang tentang kehidupan masyarakat Kampung Naga yang masih kuat mentaati adat-istiadat dan menjunjung warisan nenek moyangnya secara turun temurun. Kekuatan adat-istiadat dan keteguhan dalam memeluk agama, telah membuat masyarakat setempat hidup dalam gelembung kesederhanaan dan berkecukupan. Kampung Naga dapat menjadi pilihan alternatif agenda wisata budaya Anda selanjutnya, selamat berpetualang!

(Photo http://imageindonesia.com : foto 2,3,4 – Foto Hilda : foto 1)

sumber : www.explore-indo.com

0 komentar:

Posting Komentar