Air Terjun Coban Pelangi di Desa Ranu Pani

Jumat, 09 Juli 2010

Desa Ranu Pani merupakan gerbang masuk bagi para pendaki Gunung Semeru, mirip Everest Base Camp di kaki Everest. Saya dan beberapa teman menjangkaunya menaiki jip pickup jenis Toyota Hardtop, kendaraan massal di kawasan Semeru dan Bromo. Mesin mobil meraung kencang saat mendaki tanjakan yang seolah tak ada habisnya. Duduk di jok belakang, tubuh saya terus-menerus diterpa udara dingin. “Awas pohon!” teriak sopir. Kami pun segera menunduk guna menghindari ranting yang melintang di jalan. Mengiringi perjalanan kami adalah ladang-ladang penduduk yang mengukir tebing bukit dalam pola garis lurus dan miring.

Di tengah perjalanan, kami mampir di air terjun bernama Coban Pelangi. Kami melompat dari jip, lalu meniti jalan setapak sejauh satu kilometer yang diselingi hutan dan sungai. Air terjun tersembunyi di sebuah lereng yang dikelilingi hutan dan bebatuan licin. Tingginya sekitar 80 meter. Debit airnya cukup deras. Hem-pasan air dan tiupan angin membuat siapa pun yang berdiri dalam radius 50 meter basah kuyup.

“Di pagi hari, kita bisa lihat pelangi di depan air terjun,” jelas Indra, team leader kami. ”Itu sebabnya diberi nama Coban Pelangi.” Sayangnya pelangi tak muncul saat kami datang. Air mengalir ke sungai yang dipagari hutan. Rombongan kemudian beristirahat di sekitar air terjun. Semua suara seolah tertelan oleh bunyi hempasan air. Berisik, tapi menyenangkan.

Setelah hampir satu jam melepas lelah, kami melanjutkan perjalanan ke Ranu Pani. Jip sewaan kembali membawa kami menyusuri jalur-jalur sempit dan berliku di lereng Semeru. Kami sempat berpapasan dengan beberapa kendaraan yang sedang menuruni bukit. Jalan yang sempit memaksa jip kami menepi hingga ke bibir jurang. Situasi yang cukup memicu detak jantung. Dan ini terjadi beberapa kali.

Sekian lama berjuang menembus medan berat, jip akhirnya menyerah. Kendaraan gagah ini mendadak mogok di sebuah tanjakan. Kami semua terpaksa turun. “Karburatornya kotor,” jelas si sopir. Tak ada bengkel. Sopir harus merangkap sebagai montir. Dan ia berhasil. Setelah 15 menit, mesin kembali me-raung dan kami siap berangkat.

Baru sebentar berjalan, stamina jip kembali diuji. Jalanan kian menanjak. Ban pacul terus berputar melawan daya tarik gravitasi. Di tengah perjuangan ini, tantangan bertambah berat: kabut mulai menutupi sebagian badan jalan. Jarak pandang sangat ter-batas. Udara dingin mulai menyelinap lewat sela-sela jaket.

Di sebuah jalan di tepi jurang saya menyaksikan sabana Bromo yang dipayungi kabut di kejauhan. Setelah 30 menit menembus udara dingin, akhirnya kami sampai di gerbang Ranu Pani. Desa terlihat agak sepi dengan kabut yang masih menyelimuti sebagian besar rumah warga. Baru sejenak kami menikmati suasana desa, jip kembali berhenti. Kali ini penyebabnya adalah pecah ban. Tak ada pilihan kecuali meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh satu kilo-meter menuju posko pendakian.

Sejak 1940-an, desa yang bertengger di ketinggian 2.200 meter ini telah menjadi jalur utama pendakian ke Mahameru, puncak Semeru. Pengunjung biasanya menginap di homestay atau posko pendakian untuk mengisi ulang energi, sebelum kemudian meneruskan pendakian ke Semeru selama dua hari. Secara geografis, Ranu Pani masuk wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Bersama desa lain di sekitar taman nasional, ia berfungsi sebagai daerah penyangga sekaligus habitat bagi sejumlah satwa langka, termasuk rangkong dan elang bondol.

Awalnya kami hendak melanjutkan tur ke Ranu Kumbolo, tapi sayangnya jalur pendakian ditutup tim SAR. “Ada pendaki yang hilang,” ujar seorang petugas di posko. Sesuai protokol, jika ada pendaki yang hilang, semua jalur akan ditutup. Sebagai gantinya, kami mendirikan basecamp di Ranu Regulo yang hanya berjarak 300 meter dari Ranu Pani. Kami memilih lokasi di tepi danau. Menjelang sunset, kabut kembali merayap turun.

Di dalam tenda, kami tidur saling berhimpitan agar tubuh tetap hangat. Usaha ini hanya berhasil dalam beberapa jam per-tama. Menjelang subuh, saya tak mampu memejamkan mata akibat udara dingin yang kian menusuk tulang. Sekitar pukul lima, saya berjalan-jalan di sekitar tenda, mencoba melawan udara dingin. Walau sudah mengenakan pakaian tebal dan jaket, tubuh saya terus menggigil. Matahari menyinari danau, tapi kabut tebal belum juga beranjak.

Saya kemudian berjalan-jalan di daerah perbukitan tak jauh dari basecamp. Kabut berangsur menipis. Punggung bukit ditum-buhi padang ilalang. Di sebelah barat, terlihat banyak tanaman edelweiss yang merekah sempurna. Di sisi yang lain tampak barisan pohon pinus dan danau berair tenang. Saat sedang asyik menikmati panorama, tiba-tiba dua orang kawan saya membuka pakaian dan mencemplungkan diri ke danau. Mereka ingin menguji nyali dengan berenang di air dingin.

Saya membeli sarapan di sebuah warung di dekat posko Ranu Pani. Saya sempat berbincang-bincang dengan beberapa orang pendaki di depan warung. Mereka berasal dari Yogyakarta dan Surabaya. Tak peduli sudah berapa orang yang hilang ditelan hutan, para pendaki terus saja terpikat pada keanggunan Semeru dan Bromo.

Dengan perut kenyang kami berjalan-jalan menyusuri perkebunan penduduk. Kembali ke basecamp, kami mengemas barang-barang lalu membongkar tenda. Sambil menanti jip, kami menyantap makan siang di Ranu Pani. Perjalanan kami masih jauh. Destinasi berikutnya adalah Gunung Bromo.

sumber : www.jalanjalan.co.id

0 komentar:

Posting Komentar